Bab Kedua

88 16 8
                                    

Tema kedua : Rumah Panggung

Pria berkulit gelap itu melangkah gusar. Di balik topeng anjing tersebut bibirnya tidak berhenti bergumam. Lebih tepatnya mengumpat. Ayunan langkah si lelaki semakin lebar.

"Sial! Kenapa si Paruh Lancip memberiku tugas begitu banyak?  Tak tahukah ia bahwa aku sedang lelah?" Umpat Anubis sambil membetulkan topengnya.

Andai saja manusia berumur panjang, pasti kerjaanku tidak sebanyak ini. Apa mereka sudah bosan hidup?

Cih, menyebalkan.

Anubis terus melangkah. Pemilik manik amber itu menyunggingkan senyum. Istana tempatnya berkuasa di kegelapan telah terlihat.

Ratusan anak tangga dia lewati. Cukup jauh menuju puncak. Bagi manusia biasa pasti kaki sudah pegal. Bagi dewa seperti dia tentu mudah. Laki-laki itu tidak lelah dan mempunyai stamina yang kuat.

Sampai di halaman berlapiskan keramik putih, langkah tegap sang Kegelapan menapaki teras. Lalu kakinya menginjak tangga terbuat dari kayu kokoh. Sebuah bangunan aneh berdiri kuat.

Istana megah  tampak berkilau. Bentuknya seperti rumah panggung. Seluruh bangunan terbuat dari emas. Dengan satu tangan pintu terbuka lebar. Setelah masuk menutup dengan sendirinya.

Anubis menuju ruang kerja yang luas. Satu persatu dia memeriksa kartu berisikan nama manusia telah memenuhi undangan kegelapan.

Masing-masing kartu nama tersebut beda warna. Warna hitam untuk jiwa berdosa besar. Warna merah manusia mencuri, dan terakhir warna emas ditujukan ke nirwana agar roh-roh baik bisa bertemu si Dewa Berkulit Hijau.

Pria itu membuka blazer dan meletakkan di kursi. Kancing kemeja hitam dia buka sampai dada. Topeng yang dia kenakan terbuka. Bukan wajah seram melainkan wajah tampan dibalut kulit nan eksotis.

Sebuah ketukan membuatnya terlonjak. Siapa yang berani mengganggu dirinya?

"Masuk."

Ekor matanya melirik anak buahnya memakai baju hitam dibungkus kemeja putih. Orang itu memakai topeng yang sama hanya saja seluruhnya hitam dan membuka topengnya.

"Maaf, Tuan Anubis. Saya menemukan kartu nama tercecer di bawah."

Anubis menghampiri salah satu anak buah kepercayaannya. Tanpa mengucap sepatah kata pun dia mengambil kartu nama berwarna merah.

"Beren, tolong kau antar roh para bocah ke bagian pembalseman."

Dahi Beren mengerenyit. Mendengar kata pembalseman dalam hatinya bertanya, apakah anak-anak itu akan di awetkan? Sungguh malang nasib para bocah.

Anubis menyeringai. Seolah membaca pikiran Beren. "Itu salah mereka. Kenapa di dunia mereka suka mencuri? Lagipula anak-anak itu mati karena kecelakaan, dibunuh, digantung, kena bom, dan disiksa.

"Itu disebabkan mereka lapar. Oleh sebab itulah anak-anak mencuri. Negara mereka miskin, Tuan. Terpaksa melakukannya," ucap Beren hati-hati.

Anubis menghela napas kasar. "Aku tidak mau tahu. Kau boleh pergi."

Beren membungkukkan tubuh, lalu memakai topeng, dan segera berlalu.

Anubis melirik kartu nama berwarna emas. Kenapa bisa kececer? Apa terselip? Thoth tidak salah bawa kan? Tidak mungkin. Thoth, si Dewa Penulisan tak mungkin salah nama. Thoth sangat teliti.

Anubis bergumam mengeja nama yang cukup menarik hatinya.

Khepri Berenika.

Lahir: 25 Desember

Wafat: 25 Desember



Anubis tertegun.

Bocah ini lahir dan wafat di tanggal dan bulan yang sama ....

Sang Dewa Kematian mulai bimbang ....

469 kata.

Yo yo, gimana kabar kalian? Kali ini saya mau bikin di dewa kece kita galau. Gpp lah galau dikit.

Tentunya kalian bertanya, kok di dunia bawah tanah ada rumah panggung? Aneh kan? Itulah keunikannya.

Nantikan saya mencari pocong berikutnya. See ya. 😁😁😁

Dreaming - 30 Daily Writing Challenge NPC 2019Where stories live. Discover now