Raka menggelengkan kepala, seluruh laporan keuangan sudah menjadi tanggung jawabnya sejak bulan lalu. Dia tidak mau menambah beban ayahnya. "Apartemenku, kita pulang ke sana besok."

"Hem, oke. Jadi sekarang boleh aku pulang? Aku lapar," kata Chika.

Raka mendengus dan bangkit kembali ke meja kerjanya. Menyambar tas dan jas kerja. "Ayo, aku juga ingin mampir ke rumah."

🌼🌼🌼

Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Di antara keramaian malam, Chika menatap keluar jendela mobil. Beberapa pedagang kaki lima sedang bersemangat menawarkan barang dagangannya. Makanan – makanan itu, rasanya Chika rindu jajan di pinggir jalan setelah lelah seharian bekerja.

Raka mampir ke tempat makan yang cukup terkenal itu. Mereka memilih tempat di dekat jendela. Memang menyenangkan makan sambil menatap pemadangan luar. Tapi tentu bukan di saat sekarang, saat erut benar-benar kosong rasanya.

Chika memesan dua menu utama, tidak peduli dengan pandangan aneh dari Raka. Toh pria ini sudah tahu semua kejelekannya. Tidak perlu jaga image lagi. Pokoknya makan itu yang penting kenyang, bukan yang penting tetap cantik, tetap keren, atau apalah itu. Saat pesanan datang, tanpa banyak bicara Chika langsung melahapnya. Kejadian pelabrakan di kantor tadi juga membuatnya makin lapar.

"Apa kamu baik-baik saja?" kata Raka.

Chika menghela nafas, tangannya berhenti menyuapkan makanan. Dia tahu maksud pertanyaan Raka adalah tentang pelabrakan tadi. "Kenapa mereka sampai dipecat? Itu berlebihan Kaka."

"Kamu bukan satu-satunya yang mereka ganggu, ini keputusan final," jawab Raka.

"Aku takut rumor pertunangan kita makin kuat," kata Chika. Dia tidak mau membuat Raka terkena rumor yang tidak enak lagi. Katanya waktu itu Raka sempat diragukan kemampuannya, sampai rpia itu harus memulai semua dari bawah. Sudah di posisi ini, dia tidak mau membuat Raka digosipi lagi. Bagaimana kalau nanti orang-orang menilai kalau Raka seenaknya memecat karyawan karena mengganggu tunangannya.

"Jangan pikirkan rumor yang Bunda buat," kata Raka.

"Tapi-"

"Cepat makan, Bunda pasti sedang berimajinasi panjang karena kamu belum pulang," potong Raka.

Chika menahan senyumnya karena kata-kata Raka. Dia menganggu setuju. Bunda Fian memang selalu punya pemikiran luar biasa, bahkan tidak terduga. Kadang konyol sampai membuatnya tertawa. Kesimpulannya selalu membuat om Karel geleng-geleng kepala, memilih pasrah dan mengiyakan semua biar cepat.

"Nanti malam kompres pipimu," kata Raka yang sudah kembali sibuk dengan makanannya.

Chika menyentuh pipinya sendiri, kemudian mengangguk. "Oke."

🌼🌼🌼

Sampai di rumah, Chika langsung pergi ke kamarnya. Dia lelah, ingin langsung mandi dan mengistirahatkan diri. Besok adalah hari yang berat. Dimulai dari mengumpulkan data yang Raka minta, dan pasti besok pun akan banyak pekerjaan. Dia besok juga harus menemani Wulan mencairkan giro. Benar, tentu saja pekerjaannya tidak mudah. Ini bukan perusahaan sembarangan.

Usai mandi, Chika duduk di meja rias, menatap pantulan wajahnya di cermin. Pipinya lebam karena tamparan dari Gracia. Dia pikir lebamnya sudah hilang, pantas tadi Raka menyuruhnya mengompres pipi. Cih, pria itu memang selalu bisa bersikap manis dan dingin di waktu yang bersamaan. Chika tersenyum kecut mengingat kejadian tadi. Pria mana yang bisa santai makan padahal di depannya ada seorang perempuan yang sedang kelaparan.

Ketukan pintu mengalihkan perhatiannya. "Yaa masuk."

"Kamu udah makan?" tanya bunda.

Chika meganggukan kepala dan terseyum manis. "Udah tadi sama Kaka, kenapa Bunda?"

Mr. Cold BillionaireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang