2. Human Error Issue - Anak Baru Terlalu Berani

Start from the beginning
                                    

Gue juga kembali ke dunia gue, ngoding sambil mendengarkan apa aja yang gue puter random dari Youtube. sambil sesekali curi curi pandang ke meja sebelah. Meja tempat Alvin, yang pemiliknya sedang menautkan kedua alis dan memandang lekat-lekat pada layar laptop. Gue suka bahkan saat dia sedang bingung seperti ini.

Wajahnya tegas dengan rahang yang kokoh, hidung yang mancung, kulitnya coklat bersih, bibir yang merona sensual minta banget buat dilumat dan mata teduh kombinasi bulu mata lentik yang sekarang sedang melihat ke arah gue juga. 

Tunggu, 

sepasang mata itu melihat ke arah gue juga. 

Holy Shiit.... 

Sejak kapan dia juga melihat gue, apakah sebegitu terhipnotisnya sampe nggak sadar kalo lagi diliatin balik, mana posisi lagi nggak enak banget buat di deskripsikan. jari telunjuk di antara bibir yang gue basahin,dengan mata menyipit, khas banget lagi horny. tepuk tangan sodara sodara...

Gue nggak tahan. apalagi tadi Alvin sempet menampilkan ekspresi yang gue nggak tau itu apa, antara mau tanya "ada apa?" ke gue, atau "ngapain lo lihat lihat". Dan ekspresinya itu berhasil bikin gusar selama jam kantor.

Gue bener-bener gak bisa kayak gini... 

Gue harus ambil tindakan. Gue mau kenal dia lebih jauh, kenal dia in person, Gue mau lebih dekat sama dia. Gue gak tahan. gue nggak bisa. Udah lama gue cuma bisa diem sambil lihatin dia dari jauh, jadi stalker, berusaha notice berkali kali, tapi kalo dia nggak peka juga, gue mau ambil tindakan. titik.

***

Sore pulang kantor, adalah waktu yang tepat buat melancarkan aksi ambil tindakan. biarin jadi anak baru yang terlalu berani. Bodo amat. gue nggak suka sesuatu yang menye-menye gini.

"Alvin boleh bicara sebentar" Ajak gue ketika kita sudah sama sama diluar ruangan IT.

"Boleh" Katanya.

"oke Alvin, ikut gue" Gue menarik lengan kemejanya dan membawanya.... kemana ya enaknya orang ini gue bawa. 

Gue butuh privasi dan pantry sore ini pasti sedang ramai. Jadi kemana... oh gue tau, ujung lorong pemisah gedung kantor cabang dan pusat. Lorong itu, jarang ada orang lewat.

Setelah gue seret sekian meter, Alvin tetap masih berusaha bersikap cool dan maskulin. Dia hanya membenarkan lengan kemejanya yang tadi gue tarik.

Gue menghembuskan napas panjang sekali hingga sanggup memenuhi lorong ini dengan karbondioksida. Manusia ini tetap tidak bergeming di tempatnya, masih melihat gue dan menunggu apa yang akan gue katakan padanya.

"Alvin, gue suka sama lo" to the point dong cuyy, males gue basa basi kayak chapter 1

Alvin membelalakkan matanya, kaget. tapi tetap berusaha tenang. jadi gue lanjutin

"gue tau ini mungkin pengakuan cinta paling parah yang pernah lo terima, tapi gue beneran suka sama lo, Alvin" dengan penekanan kata di ujung.

"jawaban apa yang lo harapin dari gue" katanya, dingin. datar, pelan, berwibawa. sialan.. bukannya gue mencicit takut, gue malah pingin langsung melucuti semua kain yang menempel di badannya ini dan akan gue buat dia mengerang puas. Tapi tunggu dulu oh my brain, ini lagi serius ya , tolong di jaga sopan santunnya.

"gue tau lo punya pacar, gue tau lo nggak ada rasa ke gue, gue juga tau kalo sepertinya ini berlebihan tapi tolong kasih gue kesempatan"

sumpah, gue udah gila. April sudah benar benar gila. tapi cinta kan emang gila. mau gimana lagi.

"mau kesempatan yang seperti apa?"

Ini yang gue tunggu tunggu,...

"kasih gue kesempatan, nge-date sama gue 7 kali. cuma 7 kali aja. kalo itu nggak bisa bikin lo jatuh cinta sama gue, atau minimal nggak bisa bikin lo suka sama gue, gue bakalan menyerah dan nggak ganggu lo lagi. bahkan gue bisa resign dari sini, gue kan masih masa probation jadi gak masalah buat resign."

Fix, gue udah gila.

Alvin tampak sedang berpikir. mungkin ini tawaran yang aneh, tidak pernah terjadi dalam hidupnya, tawaran yang langka buat dia atau tawaran yang sama sekali nggak menguntungkan. Tapi gue nggak mundur. apapun yang dia katakan toh gue juga udah siap. gue udah menyusun skenario ini jauh jauh hari.

"7 kali ngedate, teknisnya gimana ?" katanya.

"iya 7 kali. Lo boleh nentuin mau kemana aja di 2 dating time, sisanya gue yang pilih. Lo mau seberapa lama terserah, yang penting gue sama lo in person. bukan terikat dengan pekerjaan atau urusan kantor lainnya. Yang penting lo sama gue. Kalo nggak mau pacar lo tau, kita bisa pergi keluar kota. Mudahnya gini, anggap aja dating time ini sebagai scene kita buat saling kenal."

Gue menarik nafas, dan menghembuskannya keras keras. Berharap karbondiosida dari gue ini bisa bikin si Alvin lemas dan tinggal gue seret ke hotel terdekat.

Manusia ini masih melihat gue lekat-lekat. Sorot matanya tidak bisa di tebak. Disaat saat kayak gini gue butuh jadi Romy Rafael atau siapa saja yang punya kemampuan buat membaca pikiran. Asli, gue nggak ngerti sama sekali dengan ekspresi diamnya Alvin yang terkesan mengintimidasi ini. Kalo gue bakalan dapet penolakan pun nggak masalah, gue udah menyiapkan hati untuk penerima penolakan. Jadi daripada diem gini mending ngomong aja deh, sumpah

"3 dating time." Katanya cepat.

"5 dating time." kata gue nggak kalah cepat.

"Deal" katanya lebih cepat lagi. Gue curiga ini kayaknya kita lagi lomba cerdas cermat.

Dengan Deal cepat dari Alvin, resmi sudah pertanyaan gue di chapter satu terjawab, kalau di kantor baru ini, gue nggak cuma kerja, tapi juga mencari belahan jiwa. Super Sekali. April Golden Ways

Love IssueWhere stories live. Discover now