09

8 1 0
                                    

Ratih menatap kosong jurang di depannya. Jurang yang hanya ditumbuhi pohon-pohonan hasil dari reboisasi. Jika malam minggu banyak sekali anak muda yang nongkrong di tempat itu. Selain pemandangan pohon-pohonan yang sudah dipasangi lampu kerlap-kerlip yang indah, tempat ini sangat sejuk sekali. Apalagi jika sore cerah, pengendara saja bisa berhenti sejenak untuk melihat matahari yang terlihat seperti bola turun perlahan sampai terbenam di balik bukit-bukit.

Hari sudah semakin gelap, tetapi gadis itu belum juga pulang. Dia sudah mengabari Bunda bahwa akan pulang terlambat dengan alasan kerja kelompok. Berbohong memang, tetapi Ratih masih ingin sendiri saat ini. Menikmati alam sekaligus menikmati kebodohannya yang menyukai seorang Arilyo.

Ratih sudah jelas tahu bagaimana persahabatan Arilyo dengan Della sejak SMA. Ratih sudah jelas tahu kalau pakaian mereka selalu couple dari akun Instagram Arilyo. Ratih sudah jelas tahu bagaimana Arilyo akan mengorbankan hidupnya demi Della Serinda.

Tapi Ratih menginginkan Arilyo melakukan hal yang sama padanya. Ratih tidak ingin hubungan mereka hanya sebatas antar jemput dan sesekali saling mengirimi pesan. Ratih ingin sesuatu yang special, Ratih ingin kenangan cinta pertamanya menjadi kenangan yang paling indah.

Ratih tidak suka Della dengan Arilyo sangat dekat, Ratih ingin Arilyo memperlakukannya jauh lebih baik dari Della. Ratih pacar Arilyo. Arilyo pacar Ratih, tentu saja Ratih punya hak untuk menginginkan Arilyo, tetapi entah mengapa Ratih tidak bisa menyampaikan kekesalannya pada Arilyo yang melupakan Ratih, entah kenapa Ratih selalu takut kalau-kalau Arilyo ilfeel karena ketidaksukaannya itu.

Karena Ratih sadar bahwa dia hanyalah tutup kaleng pinggir jalan, yang busuk, berkarat dan bau. Berbeda dengan Arilyo yang digambarkan sebagai bulan dan Della sebagai bintangnya. Ratih jauh tidak ada apa-apanya disbanding mereka.

"Mbak?"

Ratih tersentak lalu menoleh.

"Eh iya, mbak, mbak-mbak yang di café waktu itu 'kan?"

Ratih mengernyit.

"Saya yang waktu itu mbak, yang ngamen di cafe!"

"Oh kamu..!" Ratih nyengir menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Masih mencoba mengingat.

Anak itu duduk di bangku yang di duduki Ratih. Sembari menghela napas, anak itu menyandarkan gitarnya di pagar besi yang membatasi jalan dengan jurang.

"Kamu belum pulang?"

Anak itu menoleh, membuat maniknya menumbuk dengan manik cokelat terang Ratih. Kembali menatap ke depan anak itu menggeleng. "Hidup saya nggak seenak itu bisa pulang cepat dan santai-santai di rumah."

Ratih diam, anak itu juga diam. Mereka sama-sama menikmati kesejukan malam yang masih tersedia di 'mantan' Ibukota itu.

"Menurut mbak hidup itu ... adil nggak?" anak itu kembali menatap Ratih yang tetap menatap ke arah jurang.

Ratih mengangkat bahu, tapi kemudian mengangguk. "Semua orang bilang hidup itu nggak adil."

"Ya."

"Tapi karena semua orang bilang hidup itu nggak adil, membuat hidup jadi adil."

Anak itu mengernyit, menunjukkan ketidak mengertiannya.

Ratih terkekeh pelan. "Semua orang bilang hidup itu nggak adil. Karena itu hidup jadi adil dong karena kita sama-sama ngerasa nggak adil!" jelasnya.

Ratih terdiam sebelum menyadari sesuatu. "Adik kamu yang kemarin dimana?"

"Rumah." Anak itu mendesah, "dia sakit." Lanjutnya sembari terkekeh pilu.

Putri MaluWhere stories live. Discover now