07

11 1 0
                                    

Suara deru mesin mobil terdengar di halaman rumah Ratih, membuat gadis yang sedang memotong bawang diperintah sang Bunda yang baru pulang tiga hari yang lalu mengernyit. Dia melirik jam yang melekat di tangan kirinya, pukul tiga kurang dua puluh menit. Setahunya Ayah belum pulang jam segini. Setelah mencuci tangannya Ratih keluar rumah memastikan siapa yang datang. Bundanya sedang keluar sebentar, katanya mau memberi oleh-oleh dari Lampung ke rumah mbak Ani yang ibunya masih sakit.

Gadis itu tersentak ketika yang datang adalah pria yang berstatus sebagai pacarnya, jika dihitung ini hari ke-lima Arilyo tidak menyapa dan menjemputnya ke sekolah setelah kejadian kemarin. Pria berkaca mata itu bahkan tidak mengiriminya pesan.

Ratih mempersilahkan lelaki itu duduk di kursi rotan halamannya, "mau minum apa kak?" bahkan hanya untuk bertanya begitu saja Ratih harus mengumpulkan keberanian.

"Apa aja,"

Ratih mengangguk paham, dia berlari pelan kembali memasuki pelan. Sampai di dapur gadis itu menggeram, tangannya diletakkan di dada. Jantung berdetak tidak karuan, bukan karena berbunga-bunga melainkan sedang gugup.

Dia dengan Arilyo sampai saat ini belum dekat bahkan mereka sama sekali tidak punya ciri-ciri yang menunjukkan sedang berpacaran. Ratih menghela napas mengurangi rasa gugupnya, setelah dirasa cukup gadis itu membuat air sirup dan membawanya kepada Arilyo.

"Makasih!"

Ratih mengangguk.

Arilyo menatap gadis yang duduk tidak tenang di hadapannya, "lo ... nggak mau jelasin yang lima hari yang lalu?" gadis itu terkesiap. "Perihal lo yang gandengan sama cowok kemaren?"

"Ahh dia Fidi kak, teman sekelas," Ratih mulai menjelaskan walaupun ragu. Padahal kemarin Fidi yang menggandengnya seperti kambing, Ratih tidak balas menggandeng tuh. "Dia kemaren ngajak aku lari, nggak sengaja ketemu gitu aja."

Arilyo mengangguk-angguk. Tangannya bergerak mengambil dan meminum sirup buatan Ratih. "Trus kenapa bisa gandengan?" tanyanya lagi.

"DIa narik aku waktu ngajak lari!" Ratih menunduk, sebenarnya dia tidak merasa bersalah sama sekali karena melihat Arilyo yang juga dipeluk oleh Della. Tapi entah mengapa tatapan tajam dari balik kacamata Arilyo membuatnya gemetar.

"Kemaren gue lagi banyak ujian, jadi nggak sempat ngabarin lo." Jelas Arilyo. Tiga hari yang lalu banyak sekali ujian di kampusnya sehingga karena terlampau sibuk belajar lelaki jurusan Sains itu tidak sempat mengabari Ratih apalagi setelah insiden melihat Ratih dengan temannya itu gandengan. Dia sempat menunggu Ratih yang mengirim pesan tapi gadis berambut sebahu itu juga tidak mengirimnya pesan.

"RATIIIH!"

Nenek Ratih berlari tergopoh-gopoh ke arah rumah Ratih dengan kain sarung yang sedang dikenakannya diangkat setinggi lutut. Ratih yang sedari tadi menunduk mengangkat mukanya cepat, dia gelagapan dan bergerak tidak nyaman.

"Kak, kak ayo lari!" secara tidak sadar Ratih menarik tangan Arilyo. Arilyo bergeming. Sudah beberapa bulan mengenal Ratih baru kali ini dia melihat ekspresi lain dari wajah gadis itu. Biasanya gadis itu hanya memasang wajah datar dan lempeng, hanya sesekali saja tersenyum tipis.

"Kak ayo ..." Ratih kembali menarik tangan Arilyo. Wanita itu semakin gelagapan seiring sang nenek semakin mendekat.

"Ratih!" nenek kembali memanggil. Ratih pasrah, dia melepaskan lengan Arilyo dan kembali duduk di kursinya dengan wajah lesu.

Arilyo tersenyum geli, "kenapa, lo takut gue dilihat sama nenek lo?"

Ratih menggeleng. Dia tidak takut neneknya melihat Arilyo tapi ...,

Putri MaluWhere stories live. Discover now