15. Tissue Culture

91 6 0
                                    

Tarissa pov.

"Mas, itu baju seragam nggak mau dilepas dulu apa? Nggak gerah seragam gitu ? Pake baju preman aja, enak, santai, adem. Lagian ini kan hari Minggu, hari libur nasional masa tetap seragam segala."

" ICHAAA..." Mata Mas Winggar kakakku melotot tajam ke arahku dan kepalanya menggeleng pelan.

" Kenapa sih ?" Jawabku berbisik nyaris tanpa suara memberi kode dengan kepalaku.

" Ini memang sudah aturan sekolah kami Cha, walau keluar wajib pakai pakaian dinas seperti ini."

" Ribet amat yah. Nggak bosen apa Mas, dari SD, SMP, SMA sekarang kuliah sampai empat tahun seragam terus ?" Tanya Santi pada Reshnu dan Ranto. Yang dikomentarin hanya gelengkan kepala dan tersenyum. 

" Sarung tangan sama garpu tanah yang Mas titipin kemaren mana Cha ? Ayo ambil !" Belum sempat aku jawab, mas Winggar sudah menarik lenganku masuk ke dalam kamarku di kostan dan menutup pintu kamar. Rupanya dia mau menegurku

" Dek, elo tuh nggak boleh ngomong seperti itu sama Reshnu dan Ranto." Mas Winggar mencecarku.

" Ngomong gimana sih Mas ?"

"Itu tadi, tentang  seragam dinas ." Jawab mas Winggar.

" Memakai pakaian sergam dinas di luar kampus itu memang aturan baku sekolah kedinasan, elo jangan ngomporin mereka melanggar aturan sekolahnya."

" Iya deh, maaf. Tadi cuma becanda doang."

" Ooh...itu.   Eh, apa nggak sumuk (panas) ya pake seragam yang gue yakin kainnya tebal dan nggak nyerap keringat ?  Ribet juga ngeliatnya pake seragam dengan printilan atributnya. He..he.."

" Seragam Mas dulu waktu jadi taruna juga lebih banyak atributnya, Dek. Besuk kalo lo jadi istri tentara ngurusin seragam suami lo lengkap sama printilannya lho. Masangnya harus bener, harus digosok pake brasso biar mengkilap...."

" Ya Alloh ampuni aku, jangan biarkan itu terjadi. Astagfirullah "

" Kenapa sih Dek, anti banget sama tentara ? Abang lo ini kan juga tentara lho."

" Nih ya gue tegaskan lagi, kalo gue nggak pernah anti sama tentara lho, Mas Winggar. Tentara atau polisi
itu profesi yang mulia. Gue senang dan bangga keluarga besar kita banyak yang profesinya TNI dan Polri. Gue bahagia punya Abang, teman dan sahabat yang punya profesi itu. Tapi sama sekali gak punya gambaran punya suami seperti itu di kepala." Aku menghela nafas panjang, dia terdiam.

" Kalau gue pernah kurang nyaman dengan seseorang, itu bukan karena profesinya. Mungkin karena kepribadian personalnya yang gue rasa tidak cocok, bukan karena seragamnya. Bisa jadi sih pendekatan dia kurang simpatik dan bikin aku ilfil ( ilang feeling)" Aku kembali terdiam, mas Winggar lekat menatapku.

Aku menghempaskan diri duduk di pinggiran tempat tidur, memejamkan mata. Rasanya seketika Adit hadir di hadapanku, tersenyum. Ya ampun sudah setahun lebih dia pergi dan  aku masih menangis mengenangnya. Guncangan tangan mas Winggar menyadarkanku. Kubuka mataku.

" Kok jadi nangis begini sih ?" Usapan jarinya menghapus sisa air mataku.

" Salah nggak sih kalau gue malas berhubungan dekat  dengan laki-laki. Sedangkan sekeliling gue nih sepertinya berlomba  berupaya untuk harus kenalan dengan si ini, si itu, lalu beberapa orang maksa jadian pacaran lah. Pusing Icha, Mas. Icha lagi nggak ingin punya pacar. Terdengar sepertinya kok mengkhianati Adit ya."

" Hey Icha. Kasihan Adit di sana kalau lo masih terus murung begini." Mas Winggar memegang kedua bahuku. Aku nggak tahu kenapa malah air mataku terus mengalir, rasa kangenku pada Adit bikin dada tambah sesak. Mas Winggar memelukku.

Lelaki dari Lembah ManglayangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang