2. Pertemuan

185 10 0
                                    

Hari yang ditunggu telah tiba. Tarissa sampai susah tidur menunggu hari ini tiba. Sudah jalan empat bulan sejak sidang yudisium Adit, dia tidak bertemu kekasihnya itu. Jauh sebelum adzan Subuh berkumandang dia sudah bangun dan menyiapkan segala sesuatu. Mengecek kembali tiket pesawat dan melihat tanggal dan jam keberangkatannya sore ini. Dia berjanji dalam hatinya akan segera menyelesaikan praktikum selepas sholat dzuhur nanti secepat mungkin. Bila perlu ngelobi asisten dosen minta pretes duluan, dan laboran pak Yudi supaya bisa mulai praktikum lebih awal. Masih ada banyak waktu untuk mempelajari bahan dan kajian teori untuk materi yang akan dipraktikumkan. Yah, siapa tahu aja nanti keluar saat pretes. Bismillah.

Seluruh penghuni kos sudah mengetahui akan acara pertemuan dua keluarga besar Adit dan Tarissa di Jakarta. Keluarga bapak kosnya diundang juga oleh Ayah untuk datang ke Jakarta. Mereka berencana akan berangkat besuk subuh dari Bandung meggunakan mobil.

Semesta seolah mendukungnya hari itu. Pak Yudi, sang laboran juga Teh Nia dan Kang Usman yang asdos mau dan bersedia melakukan pretes jauh di awal waktu. Pak Yudi juga sigap membantu menyiapkan alat dan bahannya tanpa banyak bertanya. Walhasil saat teman-teman seangkatannya mulai berdatangan dan bersiap untuk pretes, dia sudah mulai membereskan meja kerja dan mengembalikan alat. Sebagian besar mereka keheranan dan bertanya mengapa sudah selesai praktikum padahal yang lain belum. Tarissa menjawab dengan bercanda kalau sedang terpapar "virus rajin", lalu melambaikan tangan dan mengucapkan salam sebelum berlalu dari hadapan mereka.

Saat itu mereka sedang berada di ruang tunggu bandara Husein Sastranegara menunggu panggilan keberangkatan pesawat mereka. Tarissa duduk diapit Ardi dan Tante Iin. Ardi, suami Mia sedang memangku putri bungsunya, adalah suami sepupunya Mia. Tante Iin adalah adik dari ayah Tarissa. Sedangkan Mia duduk persis di hadapan Tarissa bersebelahan dengan putranya yang masih TK.

" Kamu nggak kecepatan nikahnya Cha ? Nggak nyesal nanti saat teman-teman kamu masih main, explore sana sini,  jalan-jalan kemana-mana bebas. Eh kamu malah hanya terpaku ke Adit, ngurusin rumah, anak, suami,  dapur, sumur, kasur. Kamu nggak takut kehilangan masa muda kamu, Dek ?" Mbak Mia sepupunya menanyakan kepada Tarissa untuk kesekian kalinya. Kali ini Tarissa dijemput supir mas Ardi yang mengantar mereka ke bandara. Tarissa ini dia tidak terbang sendiri, tapi ditemani mbak Mia, mas Ardi suaminya, kedua anak mereka serta tante Iin.

" Kamu sudah memikirkan masak-masak, Cha ?" Tante Iin bertanya kembali.

" Tante, Mbak Mia, InsyaAlloh Icha sudah siap semua. Icha dan Adit sudah istikharah. Adit nggak akan mengekang Icha dalam pergaulan selama tahu batas saja dan tetap mendukung Icha menyelesaikan kuliah. "

" Apa nggak terganggu kuliah kamu, Cha ? Apalagi nanti kalau kamu sudah punya anak, Adit kan kerja di luar negeri. Siapa yang handle kamu urusin rumah tangga, kuliah sambil ngurusin anak?" Mbak Mia menyerang Tarissa dengan pertanyaan yang bertubi-tubi. Mas Ardi yang ada di sebelahnya hanya diam memperhatikan interaksi antara mereka bertiga.

"Paling nggak sampai Icha menyelesaikan skripsi. Adit akan terus dukung kuliah Icha sampai selesai jadi sarjana. Kami memang nikah muda agar menghindari zina Tante. Adit nggak mau memperpanjang masa pacaran. Yang halal lebih menentramkan. Untuk urusan anak, kami bersepakat untuk menundanya sampai kuliah Icha selesai." Tarissa menjawab pertanyaan Mia dengan hati-hati. Lama dua saudara itu terdiam dan terlibat saling pandang dalam waktu cukup lama. Mia terlihat mencerna perkataan Tarissa dengan sangat cermat, memberi penilaian. Tarissa juga mencoba menerka tanggapan dan penilaian yang akan dibuat sepupunya itu. Tarissa menghela nafas berat, membuka percakapan untuk memecahkan sunyi yang tercipta di antara mereka.

" Sebenarnya sudah dari dulu Adit ingin melamar Icha. Tapi kuliahnya belum selesai dan belum punya pekerjaan tetap. Jadi belum berani. Hal ini yang mendorong Adit belajar giat dan kerja yang tekun supaya cepat lulus dan punya pekerjaan."

Lelaki dari Lembah ManglayangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang