Mas Tama terdiam cukup lama, tampaknya memikirkan jawaban yang tepat. "Nggak bisa dibilang nggak ada hubungan apa-apa sama sekali juga, sih," akhirnya ia menjawab.

Tuuh kan ... plin plan emang.

"Jadi sebenernya gimana?" desakku.

"Yaah, kami sempat dekat, aku berusaha mengenalnya lebih jauh, beberapa kali keluar bareng." Mas Tama menarik napas berat.

"Semua karena mamaku," jelasnya lagi. "Aku menikmati kehidupanku setelah bercerai. Aku bisa melakukan apa pun yang aku suka, tanpa harus terlalu memikirkan orang lain. Namun, Mama pikir sudah terlalu lama aku menduda. Mama pengen aku mulai berhubungan serius dengan perempuan."

"Mas dijodohin?" potongku.

Mas Tama melirikku, tersenyum tipis. "Kamu bener-bener harus mulai mengurangi nonton drama, Na."

Aku cuma mengangkat bahu. "Yaa, kan biasanya gitu."

"Nggak, mamaku nggak seperti itu. Aku cuma pengen buat Mama bahagia dengan menuruti keinginannya. Jadi, aku mulai membuka diri," jelasnya.

"Emang selama ini Mas nggak membuka diri?" tanyaku.

"Biasanya aku langsung membuka baju," jawabnya frontal. Aku tersedak padahal tidak sedang minum. Mas Tama terkekeh. Ia melangkah ke dalam, mengambil sebotol air mineral di kulkas, membuka tutupnya lalu menyerahkan padaku.

"Minum dulu, Dek," ledeknya. Aku meraih botol itu lalu meneguknya cepat.

"Mas, kok, gitu sih?" Aku melotot.

"Itu kenyataannya." Mas Tama mendesah berat. "Aku nggak punya pacar, tapi ada banyak perempuan selama ini. Yang punya pola pikir sama sepertiku, nggak ada komitmen cuma having fun aja."

"Tapi sama Citra aku mencoba pendekatan yang berbeda. Aku kenal Citra dari bapaknya, beliau mantan Bupati periode lalu, jadi aku sempat kerjasama dengan beliau dalam beberapa proyek," terangnya panjang lebar. "Dia cantik, dari keluarga baik-baik, terpelajar, dia dokter by the way. Jadi aku pikir, nggak ada salahnya mulai mengenalnya lebih dekat. Kami sempat jalan beberapa kali. Beberapa kali juga aku mencoba meresmikan hubungan kami, tapi aku nggak bisa. Kayak berat aja. Bahkan aku berniat menghentikan pendekatan kami. Mungkin terdengar kejam. But, I just don't feel it," ungkapnya lagi.

"Beberapa hari sebelum kamu datang, kami pergi ke pesta pernikahan teman Citra di Uluwatu. Private party, cuma teman-teman dekat Citra aja. Karena pestanya sampai tengah malam dan beberapa dari kami sudah agak mabuk, kami semua diberi kamar. Aku sama Citra dapat jatah satu kamar, karena mereka pikir kami pacaran. Harga kamar di sana memang selangit. Aku pikir nggak guna juga sewa dua kamar, padahal kami hanya akan tidur beberapa jam. Jadi aku ok-ok aja, toh aku bisa tidur di sofa."

Ia melirikku sekilas.

"Tapi, well ... mungkin kamu nggak bakalan percaya, waktu itu aku benar-benar nggak ada niatan ke arah sana sama sekali. But then she kissed me, and did other things that ... yeah ... intinya we're both a little bit drunk that night, dia menggodaku dan dengan bodohnya aku tergoda," ungkapnya sembari menghela napas berat.

"You slept with her," bisikku lirih.

What is this? Kenapa hatiku sakit sekali saat mengucapkan itu.

Mas Tama menggeleng pelan. "Nggak sampe sejauh itu. Well ... we did almost everything that night sampe akhirnya aku merasakan kalo dia ... well, she is still a virgin dan aku nggak bisa lanjut"

Aku memejamkan mata. Jadi mereka tidak sampai melakukannya, tapi sudah sangat jauh hingga Mas Tama bisa merasakan kalau Citra masih perawan. Ok, aku tidak tahu lagi bagaimana perasaanku, rasanya seperti hampa padahal apa hakku untuk merasa begitu?

"I just can't. Aku nggak mau lagi terjebak dalam perasaan bersalah, kewajiban harus bertanggung jawab karena sudah mengambil sesuatu yang sangat berharga dari seorang perempuan."

Suara Mas Tama terdengar jauh, padahal ia ada di sisiku. Aku masih diam. Rasanya tidak tahu harus berkata apa. Tetapi, tunggu dulu ... lagi? Apa maksudnya dengan 'aku nggak mau lagi?'

Aku menatapnya tajam, mataku berkaca-kaca. Sekuat tenaga aku berusaha mengutarakan pertanyaan yang sebenarnya aku takut mendengar jawabannya.

"Apa Mas Tama menikahi Kak Naya karena rasa tanggung jawab itu? Perasaan bersalah karena telah mengambil sesuatu yang sangat berharga dari kakakku?" bisikku lirih, tapi terdengar sangat jelas di tengah keheningan malam.

Mas Tama tersentak, terlihat kaget dengan pertanyaanku. Satu tangannya terangkat mengusap kening dengan gugup. Sementara matanya berusaha menghindari mataku. Sayup aku mendengar umpatan lirih terucap dari bibirnya. Namun, selebihnya ia hanya diam, membiarkan pertanyaanku menggantung tanpa jawaban.

Mantan Kakak Ipar Rasa PacarWhere stories live. Discover now