Ron, gue nggak punya niat seburuk itu sama lo. Gue cuma pengen lo sembuh dan kembali jadi Valeron yang gue kenal. Valeron yang cinta mati sama sepak bola dan selalu nganggap gue ada.

Valeron berdiri, lalu tersenyum kecut. "Lo nggak usah repot-repot ngebujuk gue buat ikut sama lo, karena sampe kapanpun, gue nggak akan pernah nginjekin kaki di tempat ini lagi."

"Ron, gue cuma pengen bantu, supaya lo sembuh dari trauma lo, itu aja," sanggah Karin. "Harusnya, lo nggak lari dan ngehindar terus kayak gini."

Pemuda bertubuh jangkung itu membuang muka. Sejenak, menikmati pemandangan yang sebenarnya selalu ia rindukan.

Lapangan hijau yang terbentang luas, deretan kursi penonton dengan atmosfer penuh sorak-sorai, hingga sebuah bola sepak yang menggelinding entah muncul dari mana.

Selang beberapa detik, pikiran Valeron tiba-tiba menghadirkan kilas balik. Memori berisi luka lama kembali mencuat, beberapa di antaranya bahkan belum bisa ia lupakan meski terasa sangat menyesakkan.

Tragedi kelam beberapa waktu silam, pun tak pernah luput dari benaknya. Tentu, membuat Valeron selalu bergidik ngeri dan enggan mengingatnya lagi.

"Gue tau lo pasti sembuh. Lawan trauma lo, Ron! Gue yakin lo bisa balik ke jati diri lo, atlet sepak bola."

"Nggak akan lagi!" Valeron langsung mematahkan Karin—entah harapan, maupun hatinya.

Dia melipat kedua tangan di dada, sambil menyandarkan punggung pada tembok dengan cat yang mulai memudar.

Seingatnya, Stadion Bonafit Fc terakhir kali direnovasi saat mereka mengadakan friendly match satu tahun lalu, tepat sebelum kejadian buruk merenggut hampir seluruh hidupnya.

"Sepak bola udah ngancurin hidup gue, jauh sebelum lo ngambil tindakan konyol ini. Apa lo tau, gue sesakit apa? Dan kalopun gue sembuh, apa semuanya bakal balik lagi kayak dulu?"

Mendengar ucapan Valeron, hati Karin seakan remuk bak dihantam godam. Dan kini, satu-satunya hal yang bisa ia lakukan hanyalah diam.

Dia ingat betul bagaimana sakit, sedih, kecewa, dan terpukulnya Valeron setelah kejadian itu. Keluarga, sekolah, hingga dirinya sendiri sempat telantar untuk beberapa waktu.

Gue tau ini nggak mudah. Tapi, gue bakal bantu lo. Gue mau kita kayak dulu lagi. Gue peduli sama lo dan semua mimpi-mimpi lo.

Karin menunduk. Pikirannya berlari ke belakang, tepat ketika ia masih melihat kobaran semangat Valeron di atas lapangan hijau—dunia kedua yang membuatnya enggan mengenal cinta selain bundanya.

Gue yakin lo pasti sembuh! Gue tau lo kangen banget main sepak bola, ikut pertandingan, ngangkat trophy, dan jadi pemenang. Gue tau itu, Ron!

Valeron masih bergeming. Di satu sisi, ia benci saat Karin membahas sepak bola dan segala hal yang pernah terjadi di dalamnya. Tapi, di sisi lain, ia merasa tak tega jika harus membentaknya lagi, lagi, dan lagi.

Karin mendongak. "Ron, liat mata gue! Lo tanya sama diri lo sendiri, apa lo masih percaya sama gue?"

Valeron mengalah, ia tak bisa menahan matanya untuk tidak menatap Karin. "G-gue—"

"Lo percaya 'kan sama gue?" Cowok itu membalas dengan sebuah anggukan tulus.

Saat itu juga, seutas senyum merekah di bibir Karin. Ia bahagia saat mengetahui ternyata Valeron masih mempercayainya; misi membantu kesembuhan Valeron, belum usai sampai di sini.

"Gue, Athallah, sama yang lain nggak akan tinggal diem. Kita semua pasti bantu lo!"

Sejurus kemudian, wajah Valeron berubah. Dia terlihat seperti beberapa menit sebelumnya, tepat saat perdebatan itu baru dimulai. "Nggak usah repot-repot!"

Senyum Karin memudar. "Lo kenap—"

"Gue nggak butuh bantuan kalian!"

Hati Karin menolak keras, dan seolah sibuk bertanya-tanya, kenapa? Gue peduli sama lo, mimpi-mimpi lo, bahkan hidup lo. Gue mau bantu supaya lo sembuh dari trauma lo, Ron!

Sementara itu, ada suara batin lainnya yang tak kalah bersikukuh, gue udah jahat sama lo, Rin. Nggak seharusnya lo masih bertahan.

Dengan suara parau, Valeron berseru, "lo nggak tau apa-apa soal gue, atau bahkan hidup gue. Jadi, mulai sekarang, lo nggak usah bantu gue lagi."

Karin, gadis itu tidak menangis. Tak ada sebulirpun air mata membasahi pipinya. Namun, percayalah, jauh dalam hatinya ia merasa pahit, ia menjerit sakit.

Rasa bersalah sontak merasuki batin Valeron. Sebenarnya, dia tak bermaksud menyakiti Karin. Dia hanya tak mau sahabatnya itu masuk terlalu jauh ke dalam hidupnya yang rumit. Terutama masalah yang hingga kini belum juga menemukan titik terang—entah trauma pada sepak bola, maupun kecewanya akan takdir semesta.

Yang jelas, dia hanya ingin melihat Karin bebas, dan tak lagi dibayang-bayangi permasalahan hidupnya yang rumit.

Maafin gue, Rin.

Valeron melirik Karin sebentar. Ia mendapati gadis itu murung. Alhasil, hatinya makin berkecamuk. Ia sangat menyesal.

Tanpa pikir panjang, Valeron berjalan menjauhi Karin dengan sejuta kesedihannya yang masih sama. Kedua kaki itu melangkah cepat menuju pintu keluar stadion—tempat yang kini terlihat lebih seram daripada rumah hantu.

***

30 September 2019

Hello, Valeron!Where stories live. Discover now