Sweet Little Princess

385 84 51
                                    

Sayla tahu bahwa aku suka mengawasinya dari jauh.

Di pertengahan hujan November, Sayla muncul ke permukaan rumahnya mengenakan gaun bermotif bunga anggrek. Dia tampak khas dengan penjepit rambut merah muda berbentuk kupu-kupu yang selalu tertambat pada rambut panjangnya, menambahkan kesan silau. Sayla mengambil sepatu hitam dengan hak setinggi lima sentimeter itu. Ia tampak anggun, dan selalu mengagumkan.

Suasana masih gelap akibat mendung di penghujung hari. Sayla melangkahkan kaki, melewati halaman rumahnya yang segar dengan bunga-bunga kamboja yang tertanam. Deretan tumbuhan berakar tunggang juga menghiasi sebagian besar halaman rumahnya. Sayla cukup peduli pada beragam bunga. Ia menyukai aroma bunga, tampak seperti yang dilakukannya kali ini. Sayla menyentuh batang bunga anggrek, menyapa dedaunan, lalu memberikan kasih sayangnya pada kelopak bunga. Aku menyukai Sayla yang demikian. Sekali lagi kutekankan, ia tampak anggun, dan selalu mengagumkan.

Aku menyeruput kopi yang tersaji sejak siang. Hangatnya sudah tidak terasa dari sisi gelas. Kopi yang cukup pahit namun terasa manis, hanya dengan melihat senyuman tertambat pada bibir merah Sayla-ku. Ah terlalu berlebihan memang, tapi aku yakin Sayla tidak mempermasalahkannya.

Aku tahu kebiasaan Sayla. Setiap hari yang dilakukannya tetap itu-itu saja. Berdandan anggun bak putri kerajaan agar siapa pun yang melihatnya di jalanan-dekat persimpangan jalan, bersedia memberikan tumpangan. Aku tidak mengerti secara rinci kegiatan selanjutnya yang ia lakukan setelah memperoleh tumpangan. Yang jelas Sayla pulang larut malam. Selalu melebihi jam 12 malam. Pernah aku membututinya di suatu sore saat Sayla mendapatkan tumpangan dari pria yang mengendarai motor Satria. Namun payah, belum sempat aku menemukan tujuan yang sebenarnya, Sayla tersadar. Ia berbisik, lalu kecepatan pengendara melebihi 100 kilometer per jam. Sepeda motor bututku tidak sanggup mengejar.

Sayla memang cantik. Ah, sepertinya aku terlalu berlebihan lagi. Tapi tidak ada yang bisa mendeskripsikan dirinya selain kata 'cantik'. Bulu mata lentik, mata sipit, hidung mancung, bibir seksi kemerahan, ah stop stop. Aku tidak sanggup mendeskripsikannya. Yang jelas seorang kakek tua yang matanya hampir buta karena katarak saja mengiyakan bahwa Sayla adalah gadis cantik. Tak hanya itu, bocah cilik yang baru pulang dari sekolah dasar, karyawan toko yang baru kehilangan pekerjaan, hingga bos kolega sebuah bar top di kota ini, anggota DPR yang baru selesai merapatkan sesuatu yang tidak jelas juga selalu memberikan senyuman pada Sayla. Mereka memberikan julukan baginya sebagai Kembang Desa, tapi Sayla menolak. Jika Sayla diikutkan pada ajang kecantikan di kota mana pun, aku yakin dia akan menjadi juara, namun lagi-lagi Sayla menolak. Tawaran-tawaran untuk bekerja di salon kecantikan, ataupun toko-toko kosmetik juga Sayla tolak. Entah apa yang dipikirkan gadis itu. Semua bisa ia dapatkan hanya dengan satu kedipan mata, tapi Sayla tetap menolak.

Aku menyeruput kopi kembali, tepat pada saat seorang pria yang berpakaian rapi dengan mengenakan jas dan tas kantor di tangan kanannya perlahan menghampiri Sayla. Tak seperti kebiasaannya membawa pria keluar-yang bahkan sampai saat ini tujuan keluar mereka masih menjadi misteri- Sayla membawa pria terhormat itu ke dalam rumahnya. aku menyunggingkan senyum. Refleks saja. Segera kuletakkan kopi yang masih dalam genggaman. Secepat langkah yang kubisa, aku tiba di ambang jendela rumah Sayla. Keadaan aman, sebab Sayla tinggal seorang diri. Aku terus mengawasi.

Pria itu mengeluarkan amplop dari tas kantornya yang mengkilat. "Berhenti merusak dirimu lagi! Kau harus memikirkan masa depanmu mulai saat ini." Aku yakin untuk kali pertama melihat Sayla melengos. "Ini cukup untuk seminggu," lanjut pria itu sembari berdiri untuk meninggalkan rumah Sayla.

"Memang mudah mengatakannya," seru Sayla. Ia tertawa. Aku benar-benar tidak paham dengan obrolan yang berlangsung. "Aku tidak membutuhkan sepeserpun belas kasihmu. Sejak langkah kaki ini keluar dari rumah Mama, kau sendiri yang mengatakan bahwa aku bukan lagi putri kecilmu yang manis, jadi berhenti bersikap seolah kau adalah Papa yang baik!" Sayla menggebrak meja, mengacungkan jari telunjuknya pada pria itu. Aku sedikit menarik napas panjang. Kenyataan baru. Sayla masih punya keluarga, nun jauh di sana, di tempat yang tidak ia inginkan untuk kembali lagi.

Pria itu mencoba mendekati Sayla. "Stop!" teriak Sayla. "Kau pikir siapa yang menghancurkan diriku? Hah?"

"Dengarkan! Semua itu murni kesalahan. Papa dalam keadaan tidak sadarkan diri saat itu, Papa mabuk, dan tanpa sengaja ..." penjelasan pria itu terjeda.

"Meniduri putri kecilmu yang manis? Dan kau masih berani menyebut dirimu seorang Papa? Sungguh manusia munafik. Kau tak lebih dari seonggok sampah!"

Sayla berlari menyebarangi tanaman yang selama ini selalu ia manjakan. Aku tergopoh-gopoh menyelamatkan diri agar tak ketahuan. Sayla membenarkan napasnya yang terengah-engah. Aku salah jalan. Mata kami bertatapan. Ada air mata yang selama ini selalu ia tahan. Sayla berdiri tegak, berpura-pura memainkan tangannya, walau terlihat jelas ia ingin segera menghapus air mata itu.

Sayla tahu bahwa aku suka mengawasinya dari jauh.

"Halo, manis. Boleh aku mampir di rumahmu malam ini?" Sayla tersenyum. 180 derajat berbeda dengan kondisinya saat menghadapi pria itu.

Aku menelan ludah. "Tentu."

24 September 2019
Ayana Kei

Black Venus [Complete]Where stories live. Discover now