Ayah Dalam Ingatan

403 70 15
                                    

20 tahun yang lalu

Ayah adalah pria terhebat dalam hidupku. Selain kuat, ayah juga selalu berusaha membagi waktunya dengan waktu untuk keluarganya, dan ayah sanggup melakukan itu. Kerja keras ayah benar-benar menginspirasiku saat itu.

Ditambah lagi, saat itu aku adalah anak tunggal. Aku tak mempunyai saudara. Jinyoung sudah pindah. Teman pun juga tak setiap hari selalu bersama. Satu-satunya yang kupunya hanya orang tua.

Ayah yang paling dekat denganku. Aku suka cara ayah yang membantu ibu merawatku dengan caranya sendiri. Bahkan ibu jadi cerewet karena perlakuan ayah yang dianggap terlalu ekstrem.

Aku benar-benar dimanjakan. Minta apapun dibelikan. Aku dan Jinyoung atau sama teman yang lain bahkan saling adu dalam mempunyai mainan terbaru. Meski dimanjakan, ayah juga sering tegas kalau aku susah diatur atau jadi bawel.

Suatu hari, aku diberitahu kalau aku akan menjadi seorang kakak. Aku senang sekaligus agak takut. Aku senang karena aku akan mempunyai saudara. Sedihnya itu jika nanti fokus ayah dan ibu hanya tertuju pada adikku kelak.

"Adikku itu kaya apa besok, bu?" Tanyaku melihat perut ibu yang perlahan semakin membesar.

"Cowok"

"Ih nakal dong. Maunya cewek aja"

"Kamu juga nakal dulu. Tengil sampe ibu capek. Makanya ajarin adikmu besok"

"Siap" Semakin mendekati hari lahiran, aku jadi tidak sabar. Kelihatannya asik menjadi pesuruh. Tak usah repot-repot melakukan sesuatu karena akan ada adik yang melakukannya.

Hari-hariku berjalan mulus. Segala urusan dimudahkan dan semua yang dibutuhkan ada. Sepertinya saat itu nasib keluarga ini sedang berada di atas roda kehidupan.

Yang namanya hidup, pasti kadang ada di puncak atas maupun di bawah.

Dan kehidupanku mulai memburuk ketika ibu keguguran. Padahal tinggal menunggu beberapa bulan lagi aku akan menjadi seorang kakak. Sepertinya Tuhan memang tidak mengizinkan aku mempunyai saudara.

Semua benar-benar kacau. Aku sedih aku batal menjadi kakak. Ayah dan ibu pun nampaknya stress tak sempat melihatnya tumbuh.

Tak lama setelah itu, ayah mulai sakit. Ayah mulai batuk tak berhenti. Rumah yang biasanya sepi jadi agak berisik karena suara batuknya.

"Ayah minum obat gih. Kok batuknya gitu sih"

"Udah. Nggak apa-apa ini batuk biasa. Minum obat ntar sembuh"

"Iya sih..."

Aku anggap itu hanya batuk biasa yang minum obat bisa sembuh. Setiap ditanya, jawabannya selalu "tidak apa-apa". Entah aku yang terlalu polos atau bodoh, aku percaya omongan itu.

Sampai suatu saat ketika ayah batuk yang sampai mengeluarkan darah. Aku melihatnya persis di depan ku.

"Kok ada darah?"

"Nggak apa-apa tadi nggak sengaja kegigit"

Mulai dari situ aku sudah tak percaya kata itu.

Semakin lama semakin parah. Ayah masuk rumah sakit untuk berobat karena batuknya sudah tidak wajar.

Melihat ayah yang terbaring di atas kasur rumah sakit membuat hatiku sakit. Sakit melihat orang yang kusayang harus berbaring di atas kasur itu.

Rumah sakit sudah menjadi rumah keduaku. Aku malah lebih suka di rumah sakit daripada di rumah. Aku punya banyak waktu bersama ayah dan bisa main bareng.

Journey to Parallel World ✓Where stories live. Discover now