Just Director, not a CEO

18.5K 3.2K 165
                                    

Jika Darren harus mencari sisi positif dari keracunan makanan yang membuat dia terkapar selama tiga hari, meninggalkan setumpuk kerjaan, lima kali meeting yang dibatalkan termasuk bertemu dengan petinggi negara demi melancarkan urusan yang mengakibatkan penangguhan keputusan penting untuk bisnis, mungkin persahabatannya dengan Ara bisa dikategorikan sebagai satu-satunya hal positif yang bisa Darren ambil.

Dia dan Ara menjadi sangat akrab. Terlebih karena mereka memang satu frekuensi. Mereka menyukai genre film yang sama, berpikiran kalau 90's music is the best dan boyband di masa itu tak pernah mati! Mereka menikmati sarcasm, dark joke, dan yang paling utama, sama-sama pecinta cokelat.

Jika ada waktu luang, biasanya mereka habiskan bersama walau sekadar berbagi makanan sambil menonton TV di sofa Darren atau mengobrol tak tentu arah di balkon Ara yang super nyaman.

"Darrennn!! Punya cemilan gak??" Darren mendengar Ara berteriak memanggil dari balkonnya.

Darren baru pulang dari Singapore kemarin, dan Ara tahu kalau dia pasti membawa camilan untuk oleh-oleh. Padahal kemarin Darren baru memberikan dia sekantung cokelat. Dia heran kenapa Ara masih merengek meminta camilan lagi.

Darren membuka pintu balkonnya. "Kemarin cokelat yang aku kasih ke mana?" balas bertanya.

"Kubawa ke kafe trus diabisin sama Rangga."

Darren tertawa. "Cokelat abis, salted egg mau?"

"Mau! Tiga bungkus ada?"

"Ada, tinggal beli di Ranch market," jawab Darren sekenanya.

"Ishhh, jahat! Beneran ada gak, sih?" omel Ara.

"Cuma sisa satu."

"Ya udah, bawa sini!" perintah Ara semena-mena.

"Kenapa harus aku yang ke sana?" protes Darren tak terima.

"Karena aku lagi duduk di sebelah kanan and woman is always right."

Darren menggelengkan kepala, tak paham. Tapi dia mengalah. Dia mengambil salted egg satu-satunya yang tersisa dan membawanya ke sebelah kamar.

Darren mengetuk pintu, sepertinya dia baru mengetuk dua kali saat pintu menjeblak terbuka.

"Huaaa," pekik Ara kegirangan yang langsung saja menyambar keripik di tangan Darren dan bergegas ke dalam tanpa menyapa si pembawa camilan sama sekali.

Sekali lagi Darren hanya bisa menggelengkan kepala, dia sudah terbiasa dengan Ara yang selalu lupa diri kalau sudah bertemu makanan.

Darren melangkah masuk setelah menutup pintu di belakangnya. Dia melewati begitu saja sofa three seater yang Ara jejalkan asal saja di ruang keluarga sempit miliknya karena harus dikorbankan demi dapur yang luas, berjalan lurus ke arah balkon.

"Bagi!" Darren merebut chips di tangan Ara saat dia sudah duduk di sebelahnya.

"Kok sisa satu, sih? Biasanya kamu bawa banyak," protes Ara.

"Kubagi ke kantor. Mana aku tau kalau kamu ngarep juga?"

Ara berdecak, telunjuknya bergoyang memberi peringatan. "Darren, Darren, Darren .... Puhlieeessss, don't act like you don't know me at all. Kalau soal makanan ngapain kamu pakai nawarin? Langsung aja beliin!" Ara merebut kembali makanan dari tangan Darren. "Balik ke Sin lagi, gih, sana. Next, beli rada banyakan ya ...." Perintahnya tak tahu diri.

Yang diperintah hanya memutar bola mata, tak peduli. Darren menyambar cangkir minuman yang ada di balkon, menghabiskan isinya. Dia tahu minuman cokelat yang mengepul itu belum Ara sentuh karena pinggiran gelasnya masih bersih.

Miss AraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang