Sorry, I'm stalking ... Oops, I mean, starving!

17.5K 3.1K 134
                                    

Darren baru pindah ke apartemen barunya selama tiga minggu, tapi sejauh ini dia merasa betah. Walau awalnya dia ragu akan merasa kerasan di tempat sekecil itu.

Hari pertama datang, dia tak menemukan seorangpun yang tinggal di lantai yang sama walau keesokan harinya dia berpapasan dengan orang yang tinggal di seberang kamarnya.

'Perkenalannya' dengan tetangga sebelah juga tidak disengaja. Malam-malam, Darren memutuskan untuk duduk sejenak di balkon kamar, membawa laptop dan secangkir kopi yang dia beli di Moi's cafe saat pulang kerja tadi.

Darren melakukan kebiasannya sebelum tidur, mengecek email dan dokumen yang masuk serta membuat to do list apa yang harus dia kerjakan sesuai prioritas berdasarkan jadwal kerja yang sudah sekretarisnya input sebelumnya.

Entah mengapa hari ini dia merasa benar-benar lelah. Berpindah tiga tempat hanya untuk meeting demi mengakomodir keinginan berbagai pihak. Mengupayakan segala sesuatu berjalan dengan baik dan tanpa kendala. Dia tahu pekerjaannya memang berat dan tidak akan mudah. Sedari kecil papanya selalu menekankan akan pentingnya tanggung jawab dan menjaga nama baik keluarga. Dia tahu hidupnya tak akan pernah berjalan sesuai keinginannya saja. Itu risiko yang harus dia tanggung sebagai seorang Pramudya dan dia sudah terbiasa akan hal itu. Akan tetapi, ada kalanya dia merasa jengah, lelah, dan berpikir seandainya dia hanya orang biasa, apakah beban di pundaknya akan terasa lebih ringan? Atau ternyata malah lebih berat?

Darren menyesap kopi dalam diam, menunduk, jarinya menekan cekungan di mata untuk mengusir lelah. Dia hendak mematikan laptopnya saat mendengar suara pintu balkon terbuka di sebelah dan pekikan nyaring dari tetangganya.

"Bentar, gue baru nyampe balkon. Kalo ngomong di dalem suaranya suka timbul tenggelam kayak keponakan gue pas belajar renang!"

Suara wanita yang nyaring itu terasa familiar di telinga Darren. 'Is that Ara?'

Darren tak bermaksud menguping, tapi rasanya seru sekali mendengarkan wanita itu mengomel panjang lebar ke temannya via telepon.

Dari penggalan percakapan yang Darren dengar, sepertinya Ara mengomel soal urusan asmara temannya.

"Mau loe apa sih? Loe bilang dia suka mabok, kalo mabok rese. Ya kan kalau gitu harusnya loe bisa mikir dong kudu diapain kalau dia dateng ke tempat loe cuma buat ngeracau gak jelas doang. Buang dia ke tong sampah!!"

"Apa? Berat ngangkutnya? Fitness makanya!!"

"Loe mau gak gue buatin janji ke dokter mata? Sampe sekarang gue gak paham soalnya, apa sih yang loe liat dari dia? Ke dokter yuk, buat jaga-jaga aja in case mata loe beneran rusak."

Mendengar itu nyaris membuat Darren tak sanggup menahan tawa, namun sebisa mungkin dia tahan karena tak ingin mengganggu percakapan di sebelah. Dia heran kenapa sampai 20 menit ke depan, temannya itu masih saja rela dimaki-maki Ara. Akankah pertemanan mereka rusak setelah mereka saling menutup telepon?

Ternyata tidak. Buktinya dua hari berikutnya Ara ditelepon lagi dan kali ini dia diajak nonton.

Sejak hari itu Darren memiliki kegemaran baru. Duduk di balkon mendengarkan tetangganya berkegiatan. Bukan karena dia tertarik pada sang tetangga, tapi mendengarkan Ara di sebelahnya membuat dia bisa membayangkan bagaimana rasanya hidup normal. Sesuatu yang selama ini selalu dia rindukan.

------------

Biasanya, Darren sangat berhati-hati untuk tidak menimbulkan suara saat dia duduk bersantai di balkon. Namun, saat dia mengambil minuman di meja, tangannya terasa licin sehingga gelas yang dipegangnya terjatuh. Untung saja isinya hanya tinggal sedikit.

Miss AraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang