(26) Pergilah Kasih 2

Start from the beginning
                                    

Ketika Mba Wulan mendatangi mereka, ia mengatakan bahwa barang pribadi Airin bisa diambil di pondok: KTP, uang cash, dan ponsel. Sebelum menyambar kabar baik itu ada dua hal yang menyusup dalam benaknya. Pertama, kenapa barang - barangnya disimpan di sana? Kedua, mengapa Pandji mengembalikan barang - barangnya? Mengapa Pandji tidak mengembalikannya sendiri? Apakah itu artinya Airin sudah boleh pergi dari sini? Pergi sendirian tanpa Pandji?

Airin pergi ke pondok dengan ditemani oleh Mba Wulan. Kunjungannya kali ini tidak membuatnya takut akan tempat itu, justru ada kenangan khusus antara dirinya dan Pandji, di tempat selingkuh itu mereka berselingkuh.

Ia berjalan masuk ke dalam, membiarkan Mba Wulan menunggu di teras. Ia ingin merekam tempat ini dalam ingatannya, nalurinya mengatakan bahwa ini adalah kesempatan terakhirnya datang kemari. Ia seakan yakin tak akan pernah kembali lagi.

Barang - barangnya berada di atas ranjang. Ranjang tempat mereka bercinta dengan begitu mesranya, saling memberi, dan Pandji membisikan kata - kata yang ingin Airin dengar lagi.

Ia tidak segera mengambil semuanya, ia duduk di sana, menyusuri seprai putih itu dengan tangannya, seprai yang menjadi saksi bahwa cinta bisa salah. Airin memejamkan matanya dan menghela napas berat, kami sudah berakhir, Mas Pandji mau aku pergi...

Ketika membuka mata, ia mendapati Pandji berdiri di ambang pintu kamar. Pria itu sudah berganti pakaian, tercium wangi, namun tetap tak mampu menyembunyikan lelah di wajahnya.

Kerinduan besar membuat Airin langsung mendekat dan memeluk lehernya padahal mereka hanya berpisah dua hari, "Mas Pandji..." suaranya bergetar saat mengatakan itu. Ketika pria itu balas memeluk pinggangnya, Airin memiringkan wajah mencari bibir pria yang sangat ia rindukan. Ciumannya bersambut, keduanya berpagut dalam, bersyukur karena rindunya tidak bertepuk sebelah tangan.

"Jangan lepasin aku, Mas..." pinta Airin dengan amat sangat setelah ia mampu memandangi wajah tampan itu.

Reaksi Pandji tidak membuatnya tenang, ia kembali mencium bibir pria itu dengan putus asa, "Mas..."

"Saya belum bisa beri kepastian, Rin-"

Gadis itu membelalakan matanya yang basah, mengurai pelukannya, ia melangkah mundur menjauhi Pandji.

"Saya juga nggak tahu seberapa lama minta kamu menunggu," Pandji memalingkan wajahnya, "kamu tidak akan mau dengan kemungkinan pilihan yang ada-"

"Berbagi kamu dengan dia?" sergah Airin. Pandji tak mengangguk juga tak menggelengkan kepala, "aku mau jadi satu - satunya perempuan yang kamu miliki, Mas. Satu - satunya yang bangun dan tidur di sisi kamu, masak dan suapi kamu, nungguin kamu pulang-" air matanya kian tak terbendung seiring dengan emosi yang berapi - api, "melahirkan anak kamu sebanyak yang kamu minta. Airin mau. Apa itu berlebihan, Mas?"

Pandji menarik Airin ke dalam pelukan dan mengecup kepalanya, "Ibu gimana, Rin? Gygy gimana? Saya harus gimana?"

Andai aku bisa, saat ini aku ingin bilang 'nggak peduli', Mas, jawab Airin dalam hati. Tapi yang ia lakukan hanya memeluk tubuh pria itu lebih erat lagi.

"Saya ingin tahu rencana kamu setelah ini."

Keduanya berbaring di atas ranjang dengan pakaian lengkap sekedar untuk beristirahat. Tidak ada hasrat untuk bercinta sama sekali, apa yang menggelayuti benak mereka hanyalah memikirkan saat - saat setelah berpisah. Sanggupkan masing - masing dari mereka melanjutkan hidup dengan lebih baik? Mungkin Pandji bisa, tapi Airin?

Airin menyusuri kancing di dada Pandji, tanpa diperintah jemarinya seakan memiliki kehendak sendiri untuk melepaskan barisan manik kecil itu dari lubangnya, dan ketika sadar apa yang sudah ia lakukan, Airin tersipu malu.

Romantic RhapsodyWhere stories live. Discover now