(26) Pergilah Kasih 2

28.1K 3K 443
                                    

"Biasanya kalau aku nggak pulang ya tidur di kamar ini," Gyandra membuka pintu kamar di lantai dua ruko tempat usaha mereka, hanya ada tempat tidur dan kipas angin di sana, "tapi kalau kamu sewa kamar kos juga gapapa, toh kamu punya uang." Gyandra membicarakan pembagian hasil yang menjadi haknya selama ini.

Airin memandangi kamar berukuran 3x3 meter persegi itu lalu beralih pada Gyandra, "sementara aku di sini dulu deh, kayanya nyaman. Tapi jangan bilang Mas Pandji ya, Gy. Kalau dia tanya apapun tentang aku, jangan diberitahu. Begitu juga sebaliknya, walau aku mendesak kamu, jangan beritahu aku tentang Mas Pandji. Bisa rusak rumah tangga Masmu."

Gyandra memandangi gadis yang ia anggap sebagai sahabatnya dengan rasa kecewa terhadap kakaknya, "aku nggak nyangka dia tetap milih si Mak Lampir. Bilang sama aku, kamu udah diapain aja sama Pandji? Biar kuketok kepalanya supaya tanggung jawab."

Airin hampir menitikan air mata lagi mengingat sejauh apa hubungannya dengan Pandji, tapi kemudian ia menutupnya dengan senyum, "Mas Pandji orangnya sopan kok, Gy, dia nggak macem - macem."

"Sumpah?" tanya Gyandra tak percaya sama sekali, "dia nggak pernah berusaha sentuh badan kamu?"

Airin menggeleng, "kita cuma pegangan tangan, paling nekat sih ciuman bibir aja. Mas Pandji nggak pernah lakuin yang aku nggak mau."

"Jadi, Mbok Marmi kasih kamu Sari Rapet waktu itu karena...?"

Airin tergelak menghindari rasa penasaran Gyandra, "ya aku juga nggak tahu, maka dari itu aku heran. Mereka mikirnya aku dengan Mas Pandji udah ngapain aja, padahal nggak."

Sebenarnya banyak hal yang ingin Gyandra sodorkan sebagai bukti bahwa kakaknya lebih dari sekedar mencium bibir Airin, seperti erang dan desah yang ia dengar setiap malam dari kamar Pandji, misalnya. Akan tetapi melihat sikap defensif Airin, Gyandra memutuskan untuk tidak mendesak lebih lanjut. Airin sedang patah hati dan dia butuh waktu.

Setelah Gyandra pergi, Airin duduk lemas di tepi ranjang. Tiba - tiba saja tubuhnya terasa nyeri mengingat sentuhan Pandji yang ia rindukan. Ciuman bibir sudah menjadi kebiasaan seperti bernapas, bahkan Pandji tak pernah sungkan menunjukkan kasih sayangnya di tempat umum. Aku dan Mas Pandji sudah melakukan sesuatu yang sangat jauh, Gy, jauh sekali...

Bayang - bayang menjelang perpisahan pun masih terekam jelas dalam ingatannya.

Setelah Den Ayu dibawa ke rumah sakit, Airin tetap diam dan menunggu di rumah. Tak ada yang dapat ia lakukan, ponselnya disita, ia tak bisa menanyakan kabar. Ia juga tak bisa mengambil kesempatan yang ada untuk pergi, KTP dan uangnya juga disita oleh Pandji. Sekarang yang dapat ia lakukan hanya menunggu.

Hingga keesokan harinya, Pandji belum juga pulang dari rumah sakit. Tak ada kabar yang dititipkan pada para pesuruhnya membuat Airin makin cemas. Tentu ia hanya mencemaskan kekasihnya, Mas Pandji udah makan apa belum ya?

Hari berikutnya Gyandra datang untuk menjenguk Den Ayu, gadis itu jelas tidak tahu - menahu bahwa ada prahara besar di keluarga ini menyangkut dirinya. Dia terlihat santai seperti biasa.

"Ibu kumat lagi," kata Gyandra, "salah makan apa, emang?"

Airin menjawab lirih, "normal sih, makan menu rumah biasanya." Ia memandangi gadis itu sebelum bertanya, "Mas Pandji gimana kabarnya? Dia nggak pulang sejak Ibu dibawa ke rumah sakit."

Gyandra mendengus, "yang sakit Ibu, yang ditanya kabarnya tetep Pandji ya, Rin?"

"..." Airin menurunkan pandangannya, tak ingin terlihat bahwa ia kesal pada Den Ayu.

"Pandji masih jagain Ibu. Nunggu Ibu sadar."

"Ibu masih belum sadar?" tanya Airin dan Gyandra mengangguk.

Romantic RhapsodyWhere stories live. Discover now