(11) Saya masih punya hati

44.3K 3.7K 407
                                    

Kehidupan seks Pandji seolah berjalan mundur. Dulu ia tidak perlu berbasa basi apalagi berlama - lama melakukan pendekatan untuk dapat naik ke ranjang. Ia tidak perlu memikirkan bagaimana caranya berpisah tanpa saling menyakiti karena memang ia belum pernah menjalin hubungan yang sebenarnya sejak dijodohkan.

Tapi sekarang, apa yang ia lakukan? Terlibat dalam sesuatu yang rumit tanpa ia sadari. Dengan Airin ia tidak ingin terburu - buru naik ke ranjang walau ide itu merongrongnya setiap saat. Ia sangat menikmati loyalitas Airin, menikmati kebiasaan kecil yang mereka lakukan, sekaligus menikmati proses lambat mengubah Airin menjadi nakal. Semua itu berharga.

Seperti saat Airin tersedak sewaktu Pandji mengajarkan cara memanfaatkan tangan dan mulut untuk memuaskan seorang pria, untungnya dia tidak memuntahi pusaka Pandji, jika tidak mereka berdua akan trauma seumur hidup. Pandji paham, Airin hanya harus terbiasa hingga benar - benar menikmati aktivitas itu untuk dirinya sendiri, tapi paling tidak dia sudah tidak asing dengan anatomi organ reproduksi pria. Oh, itu bagian dari strategi Pandji mempersiapkan Airin sebelum tiba waktunya menanggalkan mahkota.

"Segini yang bakal kamu terima," Pandji menggenggam tangan Airin yang sedang melingkari gairahnya saat itu.

Airin mengangguk lalu memandang Pandji dengan ragu, "Airin pasti bisa kan, Mas?"

"Kenapa kayanya ragu gitu?"

"Mas lihat kan kalau jari - jari Airin nggak bisa (menutup) rapat?" tanya gadis itu dengan polosnya, ia mendekatkan bibir ke telinga Pandji lalu berbisik, "ini gede banget, Mas."

Hidung Pandji mengembang bangga mendengar protes itu, ia menahan diri untuk tidak menyeringai lebar - lebar. Tunggu saja sampai Airin merasakannya dan dia akan membuat gadis itu ketagihan.

Dering notifikasi menyela lamunan Pandji, sebuah pesan gambar dari Airin yakni bukti pembayaran SPP di sebuah bank.

'Udah Airin bayarkan, Mas. Makasih ya, Kangmas Malaikatku. Aku sayang kamu (emoticon hati)' -Airin

Airin merasa perlu membuktikan bahwa dirinya tidak berkhianat dengan mengirimkan slip pembayaran itu, padahal Pandji yakin Airin memang tidak akan mengkhianatinya. Entah mengapa ia mengabaikan fakta gadis polos itu sudah membohongi orang tuanya sendiri.

Pandji meletakan ponselnya lalu menopang dahi di meja. Bulan depan Airin sudah kembali aktif di kampus, seharusnya hubungan mereka pun berakhir, tapi bahkan sampai sekarang ia belum mendapatkan yang diinginkannya. Ia harus segera melakukannya dan mengakhiri ini. Jujur saja bertemu dengan salah satu mantan teman kencannya kemarin agak membuatnya tergoda.

Pulang ke rumah lebih awal, Pandji berniat untuk sedikit berolahraga, menyalurkan energinya yang berlebihan di lapangan basket. Saat itu ia melihat Airin sedang menyirami tanaman, senyum gadis itu melebar ketika melihatnya turun dari mobil, senyum yang biasanya buat Pandji bahagia kini malah menjadi beban. Tak lama lagi ia akan kehilangan momen ini.

Pandji ahlinya menikmati hidup, ia tak akan menyiakan apa yang ada di depan mata. Diraihnya Airin ke dalam pelukan lalu menciumnya lama - lama hingga wajah gadis itu memerah dan sedikit terengah.

"Mas..." desah Airin pelan sambil bergelayut di pundak Pandji, "kok Airin diciumnya gitu?"

"Biasanya gimana?"

"Kalau pulang kerja kan cuma dikecup gitu aja."

Pandji mengernyit, berpikir bahwa Airin hanya tidak tahu kalau besok - besok dia tidak akan mendapatkan momen itu lagi.

Ia mengajak Airin sore itu ke lapangan komplek dengan skuternya. Berpura - pura tidak menyadari bagaimana Airin terpukau memperhatikannya melakukan pemanasan. Sialan! Gitu banget sih lihatnya.

Romantic RhapsodyWhere stories live. Discover now