Aku mengangguk yakin. "Tentu saja, pengumuman seperti ini sangat dianggap serius oleh warga. Aku berani bertaruh bahwa detik ini telah ada sekelompok orang yang berpencar ke taman-taman, halte bus, dan toilet umum. Orang-orang di sini punya banyak waktu luang, kau tahu."

Lelaki itu hanya mengangguk. Eunsang berjalan kembali ke lobi dan menatap Namjoon dengan senyum tipis.

"Jangan khawatir, dompetmu akan kembali sebelum matahari terbenam," ucap lelaki berambut cepak itu.

Namjoon mengucapkan terima kasih sementara aku berjalan ke arah kursi tunggu dan duduk di sana.

Ia berbincang dengan Eunsang, lalu bergabung denganku. "Kurasa akan membuang waktu jika hanya duduk di sini. Ayo, kita ikut mencari."

Alisku berkerut. "Kau tidak percaya mereka akan mendapatkan dompetnu?"

"Bukan begitu. Tapi tidak ada salahnya jika ikut mencari, lagi pula, barang yang hilang itu milikku."

***

Awan tebal menghiasi langit hari itu. Cuaca juga semakin dingin, kabut bahkan terlihat jelas saat kami tiba di daerah pegunungan.

Kami berpencar di taman yang Namjoon kunjungi pagi tadi, aku terus-terusan berjalan dengan mata terikat di tanah, mencari benda cokelat tua dengan ukuran telapak tangan, sesuai dengan gambaran Namjoon tadi.

Semakin lama, dingin semakin menusuk. Pohon-pohon besar nan rindang menutupi cahaya dari atas, penglihatanku mulai terpenuhi oleh warna putih kabut yang semakin banyak.

Aku menghela napas. Jika begini, kami tidak bisa turun sebelum kabut pergi.

"Kim Namjoon!" panggilku.

Namun tak ada yang menyahut. Apa dia masih di sini? Aku berjalan pelan sembari memperhatikan langkah kakiku.

Sekali lagi, aku memanggil dengan suara yang lebih keras. "Kim Namjoon! Namjoon-ssi!"

Aku terus berjalan dan memanggilnya. Beberapa menit berlalu, dan aku mulai panik. Aku tak tahu aku ada di mana, selain fakta bahwa aku masih menginjak tanah berrumput.

Juga, aku tidak merasakan keberadaan Namjoon sama sekali. Seberapa keraspun aku memanggilnya, tak ada jawaban.

Yang ada hanya kabut putih yang sekarang benar-benar membuatku sulit melihat hal yang ada di sekelilingku.

Kututup mataku perlahan, berusaha menenangkan diri. "Namjoon-ssi! Kau masih di sini?!"

Aku dapat merasakan angin berhembus kencang, membuat daun-daun bergeseran dan menimbulkan suara yang mengerikan.

Jantungku semakin berdegup kencang, aku ingin pergi dari sana. Kuseret kakiku ke depan, lalu aku mulai berlari.

Lajuku cepat dan tidak stabil. Lalu, kakiku menginjak sesuatu yang tidak stabil dan badanku terhempas.

Adrenalinku meningkat begitu menyadari bahwa aku sedang berada di jurang, dengan satu tangan memegang batu yang menunda proses jatuh.

Aku sedang sibuk berpikir bahwa ajalku telah tiba dan lain sebagainya, hingga aku mendengar suara Namjoon memanggil namaku.

"Dain-ssi! Astaga."

Aku tak dapat melihat sosoknya meski aku mendongak ke atas. "Aku menyodorkan tanganku ke bawah, kau lihat?!" seru lelaki itu.

Dengan napas berat, aku berkata. "Tidak, tidak sama sekali."

"Coba angkat satu tanganmu ke atas!"

Aku nyaris dapat mendengar detak jantungku sendiri. Tanganku yang bebas adalah tangan kiri. Tangan yang selalu kusembunyikan di balik saku atau di balik cardigan panjang.

Memang, agak konyol mempertimbangkan hal ini jika nyawamu yang sedang dipertaruhkan.

Lalu, aku mengingat kabut tebal yang menyelimuti kami. Ia tak akan melihatnya. Aku pun mengangkat tangan kiriku ke atas dengan sisa tenaga yang kumiliki, menggerakkan telapak tanganku pelan dan mencari tangan yang dijulurkan padaku.

Tangan kami bersentuhan, lalu hal selanjutnya yang kurasakan adalah energi yang membuat badanku terangkat naik.

***

Rupanya aku telah berlari sangat jauh. Butuh waktu lama sampai kami tiba di taman. Kami memutuskan duduk di samping sepeda, menunggu kabut sepenuhnya menghilang.

Aku tak berani menatap Namjoon sejak tadi, belum lagi karena ia menggenggam tanganku sepanjang jalan.

"Agar kau tidak jatuh lagi," ucapnya tadi.

Aku memandangi tanganku yang kusembunyikan di dalam saku, gelisah bahwa dia akan menyadarinya.

"Terima kasih telah menggenggam tanganku. Kau menyelamatkan nyawaku." Kuucapkan kalimat tersebut untuk memancing apakah ia sadar atau tidak.

"Terima kasih kembali. Berkatmu, aku menjadi manusia yang pernah menyelamatkan nyawa seseorang," jawab Namjoon lalu terkekeh.

Ia bercanda. Ini pertanda baik.

"Sepertinya setengah jam lagi kabutnya akan hilang," lanjut lelaki itu.

"Bagaimana kau tahu?" tanyaku.

"Hanya menebak. Melihat seberapa banyak intensitas kabut yang berkurang sejak tadi, jika pergerakannya konsisten maka setengah jam lagi akan sepenuhnya menghilang."

Aku tersenyum tipis. "Kau ini pintar atau hanya berusaha terdengar pintar?"

Namjoon tertegun.

Lelaki itu tak menjawab, ia hanya menatapku lekat-lekat dari samping.

Dan aku berpura-pura tidak menyadari hal itu.

Setelah hening untuk beberapa saat, Namjoon kembali membuka mulutnya.

"Song Dain. Kau yakin, itu benar-benar namamu?"

Alisku terangkat, aku menatap lelaki yang duduk di sampingku itu.

Saat mata kami bertemu, entah mengapa, aku merasa bahwa Namjoon mengetahui sesuatu yang seharusnya tak ia ketahui.

[]

Selamat bermalam minggu!!!

Question of The Day: Pernah lihat kabut gak? Kalau iya, di mana?

Ohiyaa aku juga mau minta rekomendasi drama korea dong hehe makasih banyak yaaaa

Happy weekend semuanyaa
Semoga kalian sehat dan bahagia terus💜💜

Xx,
Jysa.

Arcadia | KNJOnde as histórias ganham vida. Descobre agora