6. Anan VS Roby

70 39 21
                                    

Tiupan angin malam menusuk tulang. Awan mendung menutupi keindahan rembulan. Gelap. Hanya cahaya lampu kendaraan yang sesekali memberi cahaya remang.

Seorang anak laki-laki berlari kencang. Membelah udara dingin yang merasuki tubuh kurusnya.

Cairan yang kehabisan ruang di kantung mata meluncur deras membasahi pipi putihnya. Keluh kesah bercampur umpat ia lontarkan tanpa mengurangi kecepatan kakinya.

Seorang wanita parubaya berdaster merah mengejar anak laki-laki itu. Walau langkahnya tak secepat putranya. Ia tak berhenti memanggil nama si bungsu.

"Anan!"

"Anan!"

"Anan! Berhenti, Nak!"

"Anan! Dengarkan ibu, Nak! Berhenti Sayang!"

Tidak ada jawaban. Meski hanya sekedar kata 'tidak'.

Anan meneruskan langkahnya. Tanpa arah. Tanpa tujuan. Ia hanya ingin sendirian. Tidak mau dengar siapa pun. Sekalipun yang bicara adalah wanita yang paling ia cintai.

"Anan! Berhenti, Nak! Ada--

Anan menubruk sesuatu yang besar. Tidak, tidak, ini bukan sinetron. Jadi, jangan bayangkan adegan kecelakaan.

Anan menarik kepalanya. Seorang pria berambut panjang berkacak pinggang. Aroma minuman keras yang menyengat menusuk indra penciuman Anan yang tersumbat ingus.

Anan bergeser. Hendak melewatkan Roby. Namun, tangan kekar Roby menghalangi. Anan menghembuskan udara panas. Manik matanya menatap tajam sang ayah.

"Jangan halangi jalanku!" pintah Anan berusaha sabar. Meski ia sangat butuh pelampiasan saat ini. Tapi, tidak akan menyenangkan bila dilakukan di sini.

Roby tidak mau menyingkir.

Tatapan Anan semakin menusuk.

"Aku bilang, jangan halangi jalanku!" bentak Anan mendidih.

Roby tak kalah panas. "Kau yang menyingkir dari jalanku!"

"Minggir an****!" satu kata kasar meluncur dari mulut Anan. Jangan heran ini sudah biasa.

Roby menggertakkan giginya. Pandangan yang kabur karena kebanyakan minum tak menjadi alasan. Tangannya tetap menarik ikat pinggang yang melingkari celana jeans-nya.

Melayang.

Potongan kulit sapi itu menampar lengan Anan.

Sakit.

Anan mengernyit, tapi tak mengeluh. Hanya diam menabung amarah di ubun-ubun.

Satu pukulan.

Dua pukulan.

Tiga pukulan.

Sebuah mobil avanza putih yang hendak lewat berhenti untuk menyaksikan pemandangan itu. Sepasang manusia yang duduk di bagian depan tampak mencibir.

Masa bodoh! Kehadiran orang-orang itu tidak akan menyudahi adegan seru ini.

"Sudah cukup?" tanya Anan membara.

Sebuah tinjuan keras mendarat di pipi kiri Roby. Sukses mengucurkan darah segar dari bibir pria parubaya itu.

Roby memegang rahangnya.

Tatapan bengis yang ia lontarkan tak mengecilkan nyali Anan.

Anan berkacak pinggang. Sedikit tersenyum tipis. Senang, karena pukulannya tepat mengenai sasaran.

"Dasar baj*****!" Roby memainkan ikat pinggangnya.

Pukulan kedua mendarat di pipi kiri Roby. Membuat tubuhnya semakin miring ke kanan. Hampir jatuh. Namun, berusaha tetap berdiri.

Roby mengangkat ikat pinggangnya.

"Anan!" teriak Salsa yang tiba di belakang Anan. Napas wanita itu tersengal-sengal karena kelelahan mengejar anaknya.

Anan melirik ke belakang. Tangannya masih dikepal. Siap untuk melepaskan pukulan selanjutnya.

"Cukup, Nak! Malu diliatin orang," Satu tangan Salsa memengang pundak Anan. Sedangkan, yang satunya lagi menunjuk mobil avanza putih yang terparkir tak jauh dari mereka.

Anan tidak mau dengar. Ia lepaskan pukulan ketiga yang sukses membuat Roby cium aspal.

"Anan! Cukup Nak!" Salsa memegang pergelangan tangan Anan yang masih terkepal.

Anan menatap mata Salsa. Kemarahan di matanya belum padam.

"Lepaskan aku!" Anan memutar pergelangan tangannya.

"Tidak! Ibu tidak akan melepaskan putra ibu!" Salsa memeluk Anan.

"Lepaskan aku! Kau bukan ibuku! Kau tidak mengerti aku!" Anan berusaha melepaskan pelukan Salsa. Namun, Salsa memeluknya lebih erat.

"Kau tidak tau aku sangat sedih saat orang-orang menghina dan memukulku. Tidak ada seorang pun yang peduli padaku. Semua orang meninggalkanku. Tidak ada yang membelaku. Aku selalu menangis di pojokan tanpa ada yang peduli. Semua orang jahat! Tidak ada yang sayang padaku," Anan mencurahkan semua isi hatinya di pundak Salsa.

"Ibu mengerti semuanya. Ibu menyayangimu. Anan harus kuat. Ini cobaan dari Tuhan, Nak." ucap Salsa mengelus lembut punggung Anan.

"Lalu kenapa Tuhan memberi cobaan padaku? Kenapa bukan yang lain? Apa dosaku?" pertanyaan itu muncul di kepala Anan. Namun, hanya dikulum. Karena yakin jawaban ibunya pasti tidak akan memuaskan.

Anan teringat kejadian beberapa saat lalu. "Kau sama sekali tidak mengerti! Jika kau mengerti penderitaanku, kau tidak akan menyuruhku sekolah lagi!" ucap Anan mendorong Salsa.

Salsa terjatuh.

"Bukan seperti itu, Nak." Salsa bangkit. Berusaha menyentuh puncak kepala Anan. Namun, Anan berpaling meninggalnya.

Salsa hendak mengejar. Namun, niatnya terurung saat Roby menarik dasternya.

Salsa menatap suaminya yang hampir pingsan akibat perkelahian tadi.

Ada iba yang terlontar dari mata Salsa. Bagaimana pun juga pria yang kini terbaring lemah di hadapannya adalah suaminya. Pria yang menafkahi dirinya dan anak-anaknya, meski dari uang haram.

Sebagai seorang istri atau minimal sesama manusia, Salsa tetap tidak tega membiarkan Roby mati dengan cara seperti ini apalagi ia masih bisa berbuat sesuatu untuk meringankan penderitaan Roby. Meski, kebaikannya tidak pernah dibalas oleh Roby. Salsa yakin Tuhan akan membalas perbuatan baik di saat yang tepat.

Salsa mengulurkan tangan untuk membantu Roby. Namun, di saat yang sama matanya menangkap sebuah mobil kijang yang kehilangan kendali melaju kencang ke arah Anan.

Salsa mengurung niatnya. Kakinya berlari menuju putra bungsunya. Meninggalkan Roby yang masih merintih kesakitan. Tidak peduli raganya akan disakiti malam ini. Salsa hanya tidak mau kehilangan putranya.

"Anan!" panggil Salsa sembari berlari kencang.

Anan tidak melirik. Terlalu marah untuk menyahut panggilan ibunya sendiri. Ia meneruskan langkahnya tanpa menyadari bahaya di depannya.

Tiba-tiba Salsa menarik Anan ke pinggir jalan. Anan melotot.

"Syukurlah." Salsa menghela napas lega. Lengannya merangkul Anan erat. Namun, belum sempat Salsa menyampaikan rasa syukur yang lebih banyak lagi...

BRUK!

Kecelakaan tak terhindarkan. Mobil itu menabrak pohon beserta Salsa dan Anan yang masih berpelukan.

***

Belimbing Musim Hujan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang