15. Apa Salahku?

33 5 1
                                    

Anan pulang dengan wajah kusut. Kejadian tadi masih terngiang di pikirannya. Setiap senyum yang mereka ukir terasa seperti belati yang menusuk hatinya. Anan benci mereka. Sangat benci.

"Akan kuhabisi mereka semua dengan tanganku," gumam Anan.

Andi melihat wajah Anan dari spion. Ia ingin bertanya. Tapi niatnya diurung karena keburu sampai di rumah.

"Masuk! Gue mau lanjut kerja. Jangan ke mana-mana! Nanti malem gue bawain makanan," pintah Andi setelah menurunkan Anan.

Anan berjalan menuju rumah tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

"Semoga firasat gue salah," batin Andi memutar balik motornya.

Tawa nyaring terdengar dari balik pintu yang sedikit terbuka. Aroma tuak tercium hingga ke luar.

Anan membuka pintu, menemukan Roby sedang main kartu dengan teman-temannya sambil minum tuak. Anan tidak peduli. Ia segera menuju kamar.

"Woi! Ambilin minuman gue!" pintah Roby tiba-tiba.

Anan tak peduli.

"Woi! Lo punya kuping nggak?!" bentak Roby melempar botol kosong ke arah Anan.

Anan tak sempat menghindar, tetapi lemparan Roby memang meleset. Botol itu pecah setelah membentur dinding.

Anan berbalik. Kemarahannya atas kejadian tadi pagi bercampur kekesalannya pada Roby pecah menjadi sebuah amukan. Anan memukuli Roby secara membabi buta. Ia sudah tidak tahan lagi.

Roby tidak tinggal diam. Ia menarik benda pipih yang melingkari pinggangnya. Lalu memukuli punggung Anan dengan benda itu.

Anan menjerit, tapi tak menghentikan serangannya. Ia meninju pipi Roby hingga mengucurkan darah segar.

Roby memegang rahangnya yang berdarah. Kemarahannya semakin menjadi. "Dasar anak kurang ajar!" bentak Roby menarik rambut Anan dan melemparnya ke dinding.

Anan berhasil menahan dinding sebelum kepalanya terbentur. Tapi, ia tak bisa menyangkal bahwa kepalanya sakit akibat tarikan Roby.

Anan menggenggam tangannya marah. Matanya mengkilat. Serangan kembali ia lancarkan. Kali ini ia mengambil potongan kaca dari botol yang pecah dan mengarahkannya ke Roby.

Roby memegang lengan kanannya yang sobek.

Anan tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia segera lari meninggalkan rumah.

Teman-teman Roby yang sedari tadi berperan sebagai penonton hanya menatap bingung kepergian Anan.

"Kalian lihat apa? Ayo cepat tangkap dia!" pintah Roby kepada para pria berandal yang duduk di kursi rotan.

Tidak ada satu pun yang bergerak. Semua saling menatap, melempar pertanyaan siapa yang mau duluan.

"Woi! Lo semua patung ya? Cepat kejar!" pintah Roby sekali lagi.

Semua tersentak. Mereka segera pergi, tetapi bukan untuk mengejar Anan. Mereka pulang ke rumah masing-masing karena tidak mau ikut campur urusan Roby.

***

Isha mengayuh sepedanya perlahan. Menikmati hembusan angin yang membelai rambut panjangnya. Jalan-jalan di sore hari seperti ini memang menyenangkan, apa lagi ada imbalannya.

Isha baru saja membeli gorengan di ujung jalan atas perintah Sandra dengan imbalan beberapa pisang goreng. Maklum, anak akuntansi mana ada yang mau rugi. Enak saja Sandra hanya duduk manis di kamar, sementara Isha harus berpanas-panasan di luar.

Bruk!

Isha menabrak seseorang yang tiba-tiba muncul dari persimpangan jalan. Untung kecepatannya tidak terlalu tinggi. Jadi, bisa dengan mudah direm.

Belimbing Musim Hujan Donde viven las historias. Descúbrelo ahora