Pandji memindai Kaka lalu mengangguk setuju, "emang lo beneran serius?" tanya Pandji yang berusaha terdengar tak acuh.

Kaka meringis malu, "kayanya gitu sih, Pak."

"Sejauh mana? Satu jengkal di bawah pusar?" ejek Pandji vulgar.

Gurauan itu disambut senyum malu - malu Kaka, "Ya gimana, Pak, anaknya perhatian kaya gini masa mau dibuat main - main?" ia menunjukkan isi obrolannya dengan Airin, lalu berpaling pada yang lain, "kayanya gue bakal tobat duluan deh daripada kalian."

Djenaka tergelak, "bullshit, Ka!"

Pandji menenggak habis sake dalam gelas lalu meletakkannya dengan agak kasar, "iya, Ka. Kasihan anak orang kalau di-PHP, mending dari awal lo jelasin mau lo, kaya biasanya. Gue lihat dia polos banget."

Kaka terdiam memandangi layar ponselnya yang sudah gelap di atas meja, pria itu tampak sama sekali serius, tidak ada garis slengekan di wajahnya.

Ia berpaling pada Pandji dan menjawab, "saya serius, Pak."

Mereka semua diam, bahkan Djenaka pun tidak menimpali dengan bahasa ketusnya yang biasa.

"Gue tahu," ujar Pandji datar, "lo ingin mencoba serius, tapi lo bingung harus mulai darimana. Karena selama ini lo nggak pernah begitu menginginkan perempuan sampai kaya gini, iya kan?"

Kita sama.


Airin melirik jam besar yang tergantung di dinding, waktu menunjukkan pukul enam sore. Hari ini ia terpaksa lembur dan untungnya dibayar. Ia menyampirkan tas ke pundak dan berpikir ulang untuk berpamitan pada Pandji atau tidak.

Setelah menghela napas, ia memutuskan untuk berpamitan seperti biasa, atau mungkin ada motivasi lain ia melakukannya, hanya Airin yang tahu.

Mengetuk pintu dan diijinkan masuk, Airin hanya berdiri di pintu lalu berpamitan. Tapi Pandji memintanya duduk. Airin memandang ke arah meja yang memisahkan mereka, map berisi berkas memenuhi mejanya, dua layar monitor menyala di saat bersamaan, dan secangkir kopi yang masih berasap diletakkan di pinggirnya. Pandji berniat lembur lebih malam lagi, pikir Airin.

Pria itu mencari sesuatu dari dalam lemari pendingin kecil di pinggir ruangan, sebuah kantong plastik hitam dengan logo sebuah restoran disablon pada kedua sisinya. "Buat kamu."

Airin menerima dengan ragu lalu menggumam terimakasih sembari memberi senyum formalnya. Dan Pandji kecewa. Ia mengharapkan lebih dari itu, seperti: 'apa ini, Mas?' atau mungkin yang lebih ekstrim tapi ia rindukan adalah 'ngapain beli ginian sih, Mas? Boros.' Dahulu Airin memenuhi telinganya dengan omelan khas ibu - ibu, seperti mereka sudah berumah tangga bertahun - tahun lamanya. Apakah sekarang ia boleh meminta agar Airin mengomel untuknya?

Karena Pandji hanya diam, Airin berbalik menuju pintu lalu mengucapkan basa basi selamat tinggal. Tapi kemudian Pandji yang masih berdiri di depan mejanya berkata, "saya mau kamu pulang."

"Ini saya mau pulang, Pak," jawab Airin bingung.

Oke... Pandji menghela napas perlahan, sabar, Ji!

"Pulang ke rumah saya, Rin."

Setelah mengatakan itu dilihatnya perubahan mimik wajah Airin dari yang terlihat baik - baik saja menjadi mengerut, bulu matanya bergetar, dan bibirnya melengkung turun. Akhirnya Pandji tahu bahwa masih ada Airin yang sama di balik Airin yang sekarang mengenakan topeng 'biasa saja', gadis itu rapuh dan kecewa.

Tidak menjawab, Airin keluar dan menutup pintu. Pandji tidak mencoba menghentikannya tapi setidaknya ia lega mendapati reaksi Airin. Masih ada kesempatan, masih ada harapan, karena Airin belum sepenuhnya meninggalkan hubungan yang telah ia rusak. Bisa jadi Airin masih tetap berada di sana, di tempat Pandji meninggalkannya. Semoga.

Romantic RhapsodyWhere stories live. Discover now