12. Memendam luka

Start from the beginning
                                    

Rily menatap Mamanya sesaat. "Enggak kan? Seolah-olah aku biang masalah di keluarga ini. Padahal, aku cuma ngelakuin kesalahan sekali. Dan itu pas SMP, sedangkan Mama pilih kasih ke kak Rilan bahkan semenjak aku punya ingatan. Rily jelas ingat semuanya Ma, tapi Rily enggak pernah bilang itu semua ke Mama. Kalau Mama nggak mau punya anak perempuan, kan? Karena, menurut Mama anak perempuan itu ngerepotin."

Rily mengusap kedua pipinya yang basah, ia menghela napas berat. Di tariknya kedua sudut bibirnya, menampilkan senyum paksa yang penuh luka. "Sebenarnya ... Aku ini anak Mama nggak sih?"

Amor terbelalak, matanya memanas.

Di anak tangga pertama dari lantai atas, Raylan mendengarkan semuanya dengan jelas. Ia membeku, menatap kedua perempuan yang dicintainya sedang berperang, saling menyakiti satu sama lain.

Rily, betapa terlukanya gadis itu, menatap Mamanya yang memalingkan muka. Tidak menjawab pertanyaan Rily, yang semakin membuat gadis itu percaya dengan opininya. "Apa kak Rilan benar, kalau aku anak pungut?" Rily menahan air matanya agar tidak jatuh. "Kayaknya bener ya ... Mama bahkan nggak bisa jawab."

Raylan mengusap sudut matanya yang berair, mengumpat dalam hati, kenapa ia mengatakan hal itu kepada adiknya kemarin. Ia langsung mengerjapkan mata saat Rily berlari ke arahnya. Mereka saling bertatap mata beberapa detik, ketika Rily melewatinya.

Raylan meneguk ludah, seharusnya ia memeluk gadis itu. Meminta maaf, menenangkannya, dan memberikan pundaknya untuk tempat bersandar. Tetapi, yang ia lakukan hanya menatap mata gadis itu, yang memancarkan luka begitu dalam. Apakah sesakit itu? Kemana saja Raylan selama ini? Ia bahkan tidak pantas disebut sebagai seorang abang, pelindung dari adik perempuannya. Karena ialah, yang memberikan luka itu, selama ini, kepada Rily, adik yang selama ini terlihat sangat ceria. Ternyata memiliki luka yang begitu dalam di hatinya.

Di dalam kamar, Rily menangis sengungukan. Tubuhnya bersandar pada pintu kamar yang sudah terkunci, ia tidak ingin bertemu siapapun untuk saat ini. Tubuhnya bergetar, kakinya menekuk, semua ingatan luka-luka menyakitkan itu memenuhi isi kepalanya sekarang.

"Kamu itu gimanasih, masa naik sepeda aja nggak bisa!"

"Enggak usah nangis, disini kamu yang salah! Minta maaf sama abangmu!"

"Kan udah Mama bilang berapa kali, Rily ... Kamu itu perempuan!"

"Berhenti membantah! Kamu harus ikuti les ini, Mama nggak terima penolakan."

"Sana masuk kamar! Belajar!"

"Kamu itu nyusahin banget, ini pertanyaan nya mudah lo. Contoh itu, abang kamu! Dia bahkan nggak pernah repotin Mama kalau belajar. Dia bisa kerjain semuanya sendiri."

"Jangan manja, belajar mandiri!"

Tangisnya semakin pecah. "Aku Rily Ma, ini aku, aku, bukan kak Rilan atau siapapun. Hiks ... " Rily memukul pelan dadanya yang begitu sesak. "Aku anak Mama ... Mama yang ngelahirin aku, Mama yang ngebesarin aku. Tapi kenapa juga, Mama yang benci aku?"

"Ya Allah, aku capek. Boleh nggak, aku ngeluh kali ini aja? Aku udah nggak sanggup, aku berhenti aja ya."

Pertahan Raylan runtuh, ia menangis, mendengar semua ucapan Rily dengan jelas. Di pintu luar kamar Rily, Raylan berdiri disana. Mendengarkan semua rintihan Rily dengan hati yang tersayat-sayat. "Rily, ini gue, abang lo. Gue disini dek, sini peluk gue." ujarnya pelan, dengan suara lirih dan tubuh yang begetar.

***

Naza tertawa pelan, melihat potret dirinya waktu kecil bersama Rily.

"Lo dimana sih, Ril? Telpon gue nggak diangkat-anggkat." gumamnya menatap layar ponsel. Ia menghela napas berat, "ini anak kenapa sih, dari tadi nggak aktif mulu? Bikin khawatir aja."

Naza menaruh buku cetak di atas pangkuannya ke atas meja. Ia berbaring di kasur empuknya, menatap layar ponsel dengan hembusan napas berat.

Papa
Pa, kangen

Naza kembali menghela napas berat, ia harus mengubur rasa rindunya dalam-dalam. Mengingat Papanya adalah sosok lelaki yang sibuk, Naza berusaha maklum dan mengerti keadaan.

Suara deringan ponsel membuat Naza tersadar dari lamunannya. Ia segera menekan ikon hijau di ponselnya dengan tergesa-gesa, takut telpon itu akan mati jika Naza telat mengangkat.

"Halo Pa... " sapa Naza dengan suara bergetar, tidak menyangka jika Papanya akan menelepon.

"Halo Za ... belum tidur?" balas seseorang di seberang telepon dengan suara lelah.

Naza menyeka sudut matanya yang basah. "Masih jam segini Pa, Papa udah makan? Papa capek ya? Jangan kerja terlalu keras ya Pa, jaga kesehatan. Naza sayang Papa ..." Naza menjauhkan ponsel sesaat, ia terisak pelan.

"Iya nak, kamu juga ya. Maaf nggak bisa selalu ada buat kamu. Papa sayang Naza, jangan tidur terlalu malam."

"Udah lama ya Pa? Papa ..."

"Hmmm..."

"Pa, kapan pula...ng?

"Sabar ya sayang, bentar lagi urusan Papa disini udah selesai kok. Kamu mau oleh-oleh apa?"

Naza menggeleng kecil, walau ia tahu bahwa Papanya tidak akan melihat itu. "Buat Naza, Papa aja udah cukup."

"Anak gadis Papa pasti udah besar, sekarang sudah jadi anak SMA." Papa Naza menghela napas. "Kamu dirumah? Atau nginap dirumah Rily?"

"Aku dirumah, kangen sama rumah."

"Bi Ais gimana? Mereka baik kan ke kamu?"

"Iya Pa, bi Ais sama mang Ajis baik kok."

"Udah dulu ya, Papa harus lanjut kerja lagi. Naza, ini yang terakhir ya, kamu telpon Papa? Selanjutnya, tunggu Papa pulang baru kita bicara lagi."

Naza tersentak, ia mengerjap pelan saat bulir air menetes dari matanya membasahi pipi tanpa sadar. "Pa? Papa? Pa? Papa!" panggilnya berulang kali, namun tidak mendapatkan sahutan dari seberang telepon.


Tut ... Tut ... Tut ...


Sambungan telepon dimatikan oleh Papa Naza, sebelah pihak. Naza meneguk salivanya susah payah, bukankah tadi semua baik-baik saja? Lantas mengapa Irwan, Papa Naza, mematikan telpon begitu saja, tanpa mengucapkan salam perpisahan atau pamit terlebih dahulu.

Naza harus memendam luka nya dan kembali menelan rasa kecewanya. Tenang, ia sudah biasa.


Dan, Naza harus terbiasa.




































































































































































































You Hurt Me!Where stories live. Discover now