Bagian XV

3.1K 218 3
                                    

"Kamu bahagia Lita dengan semua yang berhasil kamu raih?" Nada gemetar itu terdengar oleh Lita yang baru memasuki apartemennya.

Malam ini Gulita baru memasuki rumah setelah berkeliling menenangkan diri. Tapi apa ini? Kenapa wanita itu ada disini.

"Kapan Ibu datang?" Tanya Lita terkejut. Ia hampiri wanita yang telah melahirkannya itu. Mencium lembut tangannya yang sudah keriput termakan usia. Ia masih tau sopan santun ternyata.

Ibunya masih gagah saja diusianya yang telah menginjak 58 tahun.

"Baru saja." Jawabnya singkat. Pandangan matanya tertuju pada perut Lita. Ia tahu anaknya memang tambun tapi kali ini Lita berbeda dan ia tahu itu. Ia pun mendengar pertengkaran Gulita dan Lintang tadi. Ia mendengar semuanya.

"Kamu hamil kan?" Tanya ibunya lagi.

"Iya." Jawab Lita tanpa gentar. Matanya menatap sang ibu dengan berani tak ada ketakutan sama sekali. Seakan yang ia perbuat adalah sebuah prestasi.

"Darimana ibu tau tempat tinggalku?" Tanya Gulita kali ini. "Lintang yang mengantar tadi. Ibu ingin bicara dengan kamu!"

"Kamu bahagia?" Lanjutnya semakin bergetar.

"Iya. Karena aku akan mendapatkan seseorang yang akan selalu disisiku. Mengerti semua tentangku, selalu bersamaku, yang akan menggenggam tanganku, memeluk..."

Plak!

Tamparan keras itu menghentikan ucapannya. Pandangannya terpaling. Namun kembali menatap sang ibu dengan berani.

"Kamu mengecewakan ibu!" Ucapnya dengan isakan. Tubuhnya yang berdiri bergetar hebat menahan amarah yang ingin meluap.

"Kamu bahagia Lita! Bahagia melihat ibu kecewa dengan semua kelakuan mu! Minum, merokok, meninggalkan ibu selama bertahun-tahun! Dan sekarang kamu hamil! Apa kamu gila! Hah!" Teriaknya keras dengan isakan.

"Ini hidupku, Bu. Aku menjalani semuanya agar aku punya alasan untuk hidup. Jika ibu dulu lebih mengerti aku! Mencurahkan apa yang seharusnya ibu berikan padaku! Tidak mengecewakanku lebih dulu. Jika ibu memberikan itu semua! Gak akan aku mencari sesuatu yang dapat mengalihkan pikiranku." Tanpa nada suara yang keras ia lantangkan pemikirannya. Namun nada tajamnya begitu menghunus menikam jantung.

"Salah ibu?!" Tanyanya begitu kecewa.

"Ya! Salah ibu! Ibu lebih cinta mencari uang kan! Ibu lebih memilih menikahi pria itu kan! Yang ibu lebih perhatikan adalah hidup mewah yang selama ini ibu dambakan, kan! Apa ibu tau dan pernah tanya aku apa yang aku mau! Aku mau ibu! Mau ibu yang peduli dengan kehidupanku! Segala tekananku! Ibu tau aku dapat bully disekolah dari SD sampai SMK?! Enggak kan! Yang ibu tau aku hanya anak ibu yang pendiam. Tanpa ibu pernah bertanya, kenapa aku lebih suka diam? Kenapa aku lebih suka menyendiri? Kenapa aku begini dan begitu? Kenapa, Bu?" Jeritnya diakhir kalimat. Emosinya melonjak mengingat luka lalu. Melewati semua canda berlebihan itu sendirian, menikmati tawa makian itu tanpa teman berbagi. Berhasil membawanya terjerumus mencari kesenangan yang ia anggap dapat mengobati rasa sakit dan siksa batinnya.

Dia hanya butuh dukungan dan curahan kasih sayang sejak dulu. Butuh teman terbaik untuk mengungkapkan semua yang ia alami. Bukannya di abaikan karena mencari uang agar hidup tercukupi. Lalu ia kembali dikecewakan begitu ibunya memilih menikah dengan kakak bapaknya yang lebih kaya. Ia hanya tak rela sosok panutannya tergantikan, ia tak rela bapaknya yang begitu lembut, penyayang digantikan pamannya yang kasar dan pemarah. Ia kecewa dengan keputusan ibunya.

Apa tak cukup selama ini ia dikecewakan karena ibunya yang begitu sibuk bekerja hingga tak melihat ada anak yang butuh ia perhatikan. Dan kenapa ibunya kembali mengecewakannya lagi? Menikahi pamannya yang jelas-jelas telah beristri. Untuk hidupnya yang lebih baik katanya dulu. Tapi sungguh Gulita tak ingin hidup seperti itu. Menerima siksaan pedas itu lagi karena ibunya yang tak tau diri, maki para tetangganya.

Dan meninggalkan mereka memang yang terbaik bagi Gulita.

"Ibu ingin kamu bahagia tanpa hidup kesusahan." Tuturnya bergetar.

"Pilihan ibu membuat hidupku semakin kesusahan! Ibu tau, perkataan mereka benar! Kita gak tau diri! Bibi banyak membantu kita, tapi kenapa ibu menikahi suaminya yang sangat jauh sifatnya dari bapak! Karena harta! Aku bisa memberikan itu buat ibu jika ibu mau bersabar! Aku marah, bu! Marah dengan keputusan ibu! Marah dengan mulut pedas mereka! Cukup, cukup selama ini aku tersiksa dengan hinaan karena tubuhku. Dan kenapa? Kenapa ibu menambahnya dengan siksaan yang lebih dalam!" Tangisnya begitu pilu. Ia lelah. Jika boleh menyerah sejak awal, Gulita ingin mengakhiri hidupnya. Ia merasa banyak yang telah ia lalui tanpa kebahagiaan. Hanya siksaan dan tekanan. Tanpa sandaran. Hanya pengkhianatan dan tawa hinaan. Gulita lelah, ia ingin mengakhiri semuanya. Tapi, ia pun tau, mengakhiri hidupnya bukan awal jalan yang lebih baik. Maka dengan kekuatan yang ada, ia hanya terus berjalan tanpa menikmati alur kehidupan. Hingga pemikiran itu ada. Ia yakin, jika malaikat kecilnya akan selalu bersamanya, membawa kebahagian tanpa kekecewaan dalam hidupnya. Hadiah terindah setelah semua yang ia lalui. Gulita berharap. Berharap seperti itu.



Assalamu'alaikum👐🏻
Kurang feel? Ahk, maaf ya😆

Dimohon untuk tidak mencontoh apa yang buruk dari kisah ini🙏🏻🙏🏻🙏🏻

Terima kasih untuk yang sudah mampir, vote dan komen🙏🏻👍🏻

Be my friends on
Instagram: Ibugenius
Line: genusthenu
🤗

Wassalamu'alaikum🤗

Gulita Yang Menerang (TAMAT)Where stories live. Discover now