Bagian IX

3.2K 215 5
                                    

Entahlah pikirannya sedang ada dimana. Namun yang jelas Gulita merasa sedang dalam suasana hati yang tak menentu.

Gulita marah, sedih, dan lainnya yang tak bisa dijabarkan dengan kata-kata akan kejadiannya bersama Adit. Tapi ia tak ingin memikirkan itu lebih lanjut, biarlah. Mungkin ini sudah suratan, ia menerimanya. Namun tangisnya masih meluncur bebas setiap mengingatnya.

Hampir setiap hari pria gila itu mengetuk pintu apartemennya tapi ia tak sekali pun membukakan pintunya. Gulita masih marah dan kecewa.

"Kak, kakak kenapa?" Tanya Linggar khawatir saat melihat kakaknya menatap keluar sana dengan derai airmata.

Gulita menggeleng dan menghapus air matanya dengan kasar. "Enggak. Kapan kamu balik?" Tanya Gulita menatap Linggar yang telah duduk disampingnya.

"Bukannya sebulan di Surabaya?" Lanjut Gulita yang membuat Linggar menatapnya semakin heran. "Kak, ini udah sebulan. Kakak kenapa sih? Muka kakak pucat, ada apa?" Tanya Linggar sambil mengelus lembut pipi bulat kakaknya.

"Gak kenapa-kenapa. Kayanya kerjaan kakak kebanyakan yang buat kakak lupa tanggal." Linggar tau itu, kakaknya mudah sekali lupa akan tanggal dan hari. Tapi ada yang berbeda dari wanita dihadapannya, dan Linggar tau itu.

"Kak..." panggilannya terputus karena ucapan Gulita. "Kakak cuma lagi gak enak badan. Keinget Bapak juga," jawab Gulita lemah. Ia rebahkan tubuhnya diatas pangkuan Linggar.

"Kak... Bapak udah bahagia disana. Yang harus kita lakukan mendoakannya disini. Dan berubah jadi orang yang lebih baik lagi. Kak... jangan beratkan beban Bapak disana dengan kelakuan kita. Cukup! Cukup ia menanggung beban berat itu didunia karena harus menghidupi kita. Tapi jangan sampai kita masih memberatkan bebannya disana dengan kelakuan kita lagi." Gulita mendengar jelas sedu-sedan Linggar. Ia pun semakin meneteskan airmatanya. Kenapa mereka jadi membahas Bapak yang telah lama pergi. Gulita bodoh! Ia tau adiknya itu tak bisa sedikit pun membahas Bapak kandung mereka yang telah tiada. Dan sekarang ia membahasnya membuat Linggar menangis. Gulita bangun dari rebahnya, ia peluk erat tubuh Linggar yang menangis kedadanya. Prianya ini sangat ingin melihat Bapak. Ia tak mengingat memori kebersamaan mereka karena Bapak pergi saat usianya dua tahun. Dan Gulita bodoh karena membahasnya!

Dan saat itu pun mereka menangis bersama. Kerinduan akan pembahasan mereka pada pria yang berjasa dalam hidup ini, perkataan Linggar yang membuatnya semakin terasa tertusuk semakin dalam, dan semua kesalahannya. Ia mengingatnya sangat jelas, sangat banyak kesalahannya! Banyak sekali!
.
.
.
.
Usai saling melepas tangis, keduanya tertawa dengan sesegukan.

"Muka kakak lucu," ledek Linggar dengan sesegukan.

"Kamu juga," kesal Gulita. Namun ia lebih memilih kembali memeluk adiknya itu. Linggar pun merengkuhnya, mengelus lembut rambut panjang kakaknya.

"Kak..." panggilnya lagi. Sesegukannya sudah reda sekarang.

"Hm..." jawab Gulita yang menikmati usapan lembut Linggar.

"Kapan kakak mau pulang? Ini sudah 13 tahun kakak pergi ninggalin Ibu dan rumah." Gulita menegang. Ia belum sanggup!

Tak ada jawaban, Linggar mengangguk. "Kak, coba untuk memaafkan kesalahan Ibu. Dan kita mulai lembaran baru. Kakak jangan seperti ini terus." Pinta Linggar.

Gulita melepas pelukannya, ia beranjak dari duduknya. "Kakak mau kemana?" Tanya Linggar menahan lengan Gulita.

"Kalau kamu masih bahas ini. Lebih baik kamu pulang." Gulita menarik lengannya dan beranjak ke dapur.

Linggar pun mengikutinya, membuntuti Gulita yang sedang menuang air. "Oke. Aku gak akan bahas lagi. Tapi kak..." ucapannya tertahan saat tatapan wanita dihadapannya itu begitu tajam menghunus.

"Aku lapar." Ucapnya dengan senyum meringis. Gulita tersenyum tipis. "Ayo, kita cari makan siang di luar." Ajaknya.

Linggar pun mengangguk. Namun belum tangan Gulita menggapai knop pintu. Linggar menariknya. "Kakak mau keluar pakai pakaian kaya gini?" Tunjuk Linggar pada baju rajut jaring putih berlengan panjang yang dipakai Gulita dan celana pendek satu jengkal dari dengkulnya itu.

"Iya. Kenapa emang?" Tanya Gulita bingung.

"Kak! Liat dong, walau panjang ini bajunya nerawang! Keliatan tuh tanktop yang kakak pake. Ganti sana. Ini lagi celananya pendek banget! Ganti!" Perintah Linggar. Dan Gulita lupa akan sifat adiknya yang sangat cerewet saat ia keluar rumah dengan penampilan sedikit terbuka.

Linggar menunggu didekat pintu apartement hingga Gulita keluar. "Puas." Ucap Gulita dengan merentangkan tangannya. Ia memakai celana kulot hitam tiga perempat. Dan baju rajut yang tertutup berlengan panjang. "Nah, gini kan cantik. ayo," ajaknya. Linggar pun menggenggam tangan Gulita erat menuju lift. Genggaman mereka masih erat sambil berjalan menuju parkiran dan memasuki mobil Linggar, dengan diselingi canda tawa.

Hubungan mereka begitu dekat sekarang. Dan Gulita bersyukur selalu ada Linggar yang menjadi alasan dirinya tetap bertahan. Linggar pahlawannya, menyemangat hidupnya dan segalanya untuk Gulita yang merasa hidupnya selalu gelap gulita.



Assalamu'alaikum👐🏻
Dimohon untuk tidak mencontoh apa yang buruk dari kisah ini🙏🏻🙏🏻🙏🏻

Aku gak tau deng nama bajunya apa😅 tapi aku suka banget sama baju rajut gitu😆

Terima kasih untuk yang sudah mampir, vote dan komen🙏🏻👍🏻

Be my friends on
Instagram: Ibugenius
Line: genusthenu
🤗

Wasalamu'alaikum🤗

Gulita Yang Menerang (TAMAT)Where stories live. Discover now