(2) Ramalan Kematian

101 29 43
                                    

Juan berjalan di sepanjang lorong, melewati beberapa ruangan, dan membuka setiap tirai jendela setinggi dua meter yang dilewatinya. Salah satu tugas hariannya di pagi buta, setelah hampir semua pelayan dan asisten rumah tangga di rumah megah itu di PHK, hingga hanya dua pelayan setia yang tersisa. Tak heran jika rumah yang bagaikan Mansion Wentworth Woodhouse versi lebih kecil itu sudah nyaris tak terurus.

Di ujung lorong terdapat dua pintu dengan kusen klasik mewah yang terbuat dari kayu jati berkilau, dengan ukiran bunga yang berkelindan. Kedua pintu tersebut mengapit sebuah perapian, yang dulu biasa digunakan untuk menghangatkan para tamu bisnis yang datang. Salah satunya adalah pintu ruangan tempat Julian dan Juan bekerja, sementara yang satunya, adalah ruang kerja ayah yang sudah lama tak digunakan.

Juan membuka pintu ruang kerjanya, dengan bobot yang lumayan berat, tapi tidak terlalu berat untuk ukuran laki-laki dewasa. Di balik pintu, terlihat sebuah ruangan megah yang sengaja didesain dengan warna tortilla dan ukiran serba emas, berlantaikan pualam putih nan elegan. Rak-rak buku cantik setinggi dinding juga turut serta menambah kesan mewah. Tak hanya nyaman untuk bekerja, ruangan itu juga terasa hangat berkat room heater yang menyala di dekat sofa yang biasa digunakan Julian dan Juan beristirahat.

Di ujung ruangan, terdapat dua meja kerja panjang yang saling berhadapan, dengan komputer berlayar tipis dan berkas-berkas penting yang tertumpuk dengan sangat rapi di atasnya. Dan, di salah satu meja, terlihat Julian yang masih mengenakan baju tidur setelan spandex bermotif salur, tengah sibuk di depan layar komputer, dengan rambut berantakan, kedua mata yang merah, dan kantung mata yang bengkak. Persis seperti tanda-tanda perubahan manusia menjadi zombi.

"Kau kelihatan payah," ujar Juan saat memperhatikan penampilan kakaknya yang seperti habis diterjang badai dengan kekuatan angin 882 milibar. "Apa semalaman kau berada di depan layar komputer?"

"Aku harus mengecek semua annual report sebelum meeting siang ini untuk menggantikan ayah," sahut Julian, yang kemudian meneguk habis sisa air putih dalam botol minum berkapasitas dua liter.

"Ini sudah jam lima pagi, kau harus tidur dan terlihat segar sebelum meeting, atau orang-orang akan berpikir hidupmu tak terurus karena terlalu miskin," Juan duduk di mejanya, dan mulai menyalakan komputer di depannya. "Kirim ke emailku semua bahan yang diperlukan, aku akan membuat catatan untuk beberapa poin dalam draft kesepakatan yang tidak sesuai."

"Apa kau sudah membaca underline untuk proyek yang baru?"

"Jangan khawatirkan soal itu, kau tahu, kan, aku tidak pernah menunda pekerjaan."

"Kalau gitu, aku percayakan draft-nya padamu, tolong periksa lagi dan catat yang tidak perlu," Julian lalu melepas kacamata anti radiasinya, melempar beberapa lembar kertas ke meja Juan, dan mulai melakukan perenggangan setelah semalaman suntuk bekerja. "Omong-omong, aku bangga Jasmine akhirnya mendapat beasiswa kuliahnya, dan sekarang aku hanya tinggal fokus memikirkan biaya sekolah Jesper."

"Jangan terlalu memikirkan soal itu, karena ada hal lebih penting yang harus kau tahu," Juan menghentikan aktifitasnya, dan menatap serius ke arah kakaknya yang terlihat sangat lelah. "Semalam aku melihat cahaya dari tebing di tengah hutan, seseorang pasti membuat api unggun untuk bermalam, dan kemarin aku melihat berita bahwa blood moon akan muncul malam ini, kau tahu apa artinya, kan?"

Julian berjengit, kemudian dalam hitungan detik kedua bahunya merosot. Dia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, dan mengamat-amati langit yang masih gelap dari balik jendela. "Apa mereka akan turun dari gunung malam ini?"

Juan menarik nafas yang dalam, menghembuskannya perlahan, menormalkan kembali detak jantungnya, sebelum menjawab pertanyaan kakaknya. "Sudah dapat dipastikan bahwa mereka tidak akan melewatkan kesempatan untuk... kau tahu, kan... membaur... semacam itu," jelasnya.

Deadly Rose (New Story)Where stories live. Discover now