(3) Jangan Dekat, Harimau Galak!

89 25 46
                                    

Malapetaka itu datang ketika Jazlyn berusia delapan tahun. Dia menyaksikan bagaimana ibunya tersiksa, menjerit karena hatinya terluka, setelah menyaksikan kebiadaban seorang wanita yang berusaha merenggut kebahagiaannya. Dunianya seakan runtuh, ketika di hari ulang tahunnya, hadiah yang ia dapatkan adalah pengkhianatan.

Jazlyn, Julian, dan Juan kecil berdiri di ambang pintu, menantikan kehadiran ayah mereka yang seharusnya pulang, memberikan pelukan hangat, dan mencium kening mereka dengan lembut. Tapi harapan itu musnah, ketika seorang wanita muncul di hadapan mereka, memberikan sekuntum mawar berduri, dan mengatakan, Pria yang kalian tunggu sekarang adalah milikku.

Dari lantai dua, Jasmine yang saat itu berusia empat tahun, menjerit pilu, menyaksikan ibunya yang diam mematung dengan tatapan kosong. Sementara Jesper terus menangis kelaparan di dalam ranjang bayi. Malam itu, Jazlyn merasakan kedatangan badai besar, disertai guntur yang terus menyambar, mewakili amarah yang tak terluapkan.

"Jazlyn Malvinia Artha," ujar seorang wanita yang menyadarkan Jazlyn dari lamunan mengerikan.

"Ya, saya," sahut Jazlyn gugup. Entah sudah berapa lama dia melamun di depan ruangan bertuliskan Managing Director. Untung saja, dia satu-satunya orang yang menunggu di sana. Kalau tidak, wajah Jazlyn saat bengong pasti terlihat aneh.

"Silahkan masuk, Pak Direktur sudah menunggu," wanita itu membukakan pintu, dan mempersilahkannya masuk dengan ramah.

"Terima kasih," Jazlyn melangkah masuk dengan tenang, berusaha menepis bayangan-bayangan mengerikan yang terus menghantuinya.

"Halo Jazlyn, silahkan duduk," sambutan ramah dari seorang pria yang duduk di balik meja direktur, mengenakan kaos putih, dipadukan dengan overcoat berwarna beige, yang memberikan kesan casual nan elegan. "Jadi, apa kau sudah tahu kenapa perusahaan kami tertarik untuk mempekerjakanmu?

Jazlyn mencoba mencari jawaban yang tepat, berdasarkan analisis dari hasil kerja otaknya, dan menyusunnya dalam bentuk kalimat santun yang sesuai dengan etika dalam interview kerja. "Menurut saya, saya dipanggil karena novel saya diterbitkan di penerbit yang merupakan anak perusahaan ini."

"Tebakanmu benar," sahut pria itu dengan sangat antusias. Padahal itu bukan pertanyaan yang sulit bagi Jazlyn, karena dia dipanggil setelah bukunya resmi diterbitkan di perusahaan yang sama. "Kami sangat menyukai ceritamu, khususnya temanku—maksudku atasanku yang juga adalah temanku."

"Terima kasih, pak," sahut Jazlyn gugup.

"Kau bisa memanggilku, kakak, kalau kau mau, lagi pula usiaku masih 28 tahun, jadi kedengarannya tidak terlalu formal, kan?"

Pria yang ada di hadapan Jazlyn memang hanya satu tahun lebih tua dari Julian, jadi dia mafhum jika pria itu tidak ingin dipanggil dalam sebutan formal. Bahkan kalau dilihat dari penampilannya yang casual, sepertinya pria itu memang tidak terlalu suka dengan segala aspek yang berbau keformalitasan, namun penampilannya tetap terlihat menawan, rapi dan sopan. "Baik, kak."

"Kepenulisanmu diakui sangat baik, bahkan saat aku membaca novelmu, aku merasa seperti masuk ke dalam dunia yang kau buat, pertempuran penyihir dengan para bangsawan itu benar-benar keren, tapi..." pria itu mendekatkan tubuhnya ke meja, dan menatap Jazlyn dengan dahi berkerut, "apa kau percaya tentang penyihir?"

Jazlyn terkesiap, dia tidak pernah tahu jika dalam interview kerja, pertanyaan pertama yang akan dilontarkan adalah... penyihir. Tidak termasuk dalam daftar Pertanyaan Interview Kerja Paling Sering Diajukan, yang ia baca di internet. "Saya tidak terlalu percaya penyihir, kak."

Pria itu menggeleng-gelengkan kepala, "sayang sekali, padahal ceritamu akan lebih booming jika ditulis berdasarkan kisah nyata, aku bahkan terhanyut, sampai menitikkan air mata saat membaca bagian... melalui malam di tengah badai, bagian itu benar-benar menguras emosi."

Deadly Rose (New Story)Where stories live. Discover now