(1) Kota yang Aneh

193 32 79
                                    

Seperti musim semi yang hangat, bunga-bunga bermekaran dan tersenyum, matahari berpijar dan menyapa. Sampai pada hari dimana cerita kita dimulai.

🌹
🌹
🌹

Sebuah panah melesat, melintasi kebun bunga yang rimbun, dan masuk ke belantara pepohonan yang gelap dan berkabut, di balik dinding tinggi yang mengkungkung bangunan rumah tua megah berhias ukiran klasik yang mengagumkan.

"Meleset lagi," ujar seorang laki-laki yang duduk di dalam gazebo dengan desain klasik rotunda, sambil melipat kedua tangannya di bawah dada, dan terus memperhatikan kemana arah panah itu melesat. "Aku hanya berharap panah itu tak melukai makhluk apa pun di dalam hutan."

"Tenang saja, kak, selama tak ada yang berteriak kesakitan, berarti panahku mendarat dengan aman," sahut anak laki-laki yang baru saja melepaskan anak panah melampaui sasaran yang sebenarnya, hingga masuk ke hutan terlarang.

"Lakukan sekali lagi!" Gertak laki-laki yang masih duduk di dalam gazebo, ditemani segelas jus jeruk dan beberapa makanan ringan.

"Apa aku boleh istirahat sebentar?" Ujar anak laki-laki itu kelelahan, terlihat dari keringat yang membanjiri keningnya, meski tubuhnya diterpa hembusan angin dingin dari arah pegunungan. "Aku sudah membuang lebih dari 30 anak panah yang tersebar di segala penjuru halaman rumah, dan yang terakhir tadi, adalah rekor salah sasaran terbaik yang aku miliki."

Anak laki-laki itu langsung melempar tasnya yang masih berisi puluhan anak panah ke atas rerumputan yang basah. Melangkahkan kakinya ke dalam gazebo dengan santai—bahkan sebelum diizinkan. Dan, serta merta mengambil kue kering coklat dari stoples kaca tanpa melirik sedikit pun ke arah kakaknya atau bisa disebut juga pelatihnya yang memasang tatapan dingin sejak anak panah tadi terbang dengan liar melewati dinding setinggi tiga meter.

"Kadang aku iri dengan teman-temanku, yang tidak perlu berlatih pedang atau memanah sepulang sekolah, uang jajan mereka dihabiskan untuk nongkrong di cafe, jalan-jalan, dan--"

"Jesper, aku tahu semua keinginanmu," laki-laki itu memotong ucapan adiknya. Bukan tak memperhatikan, hanya tak sanggup mendengarkan semua keluhan yang menyayat hati. "Aku dan Julian juga sedang berusaha mengubah hidup kita kembali seperti dulu, dan yang perlu kau lakukan hanya belajar untuk mendapat nilai bagus di tahun pertamamu masuk SMA, dan belajar untuk melindungi dirimu sendiri."

Jesper berhenti mengunyah sebentar, dan menatap kakaknya dengan rasa bersalah. "Maaf," dia berucap sambil menyimpan kembali setengah biskuit coklat yang sudah dimakannya ke dalam stoples. Ada rasa tak enak setelah mengeluh pada kakaknya yang telah bekerja mati-matian untuk membangun kembali usaha keluarga mereka yang telah hancur.

"Aku ingin setidaknya kau bisa memanah atau menggunakan pedang dengan benar, meskipun saat ini aku belum bisa memberitahumu kegunaan dari keahlian itu."

"Kalau boleh memilih, aku ingin berlatih menggunakan senapan yang ada di ruang kerja ayah, dibanding... pedang dan panah," Jesper meneguk jus jeruk yang sebenarnya bukan disajikan untuknya. "Kalau dipikir-pikir, aku lebih jago bermain gim Battle Royale, dibanding RPG."

"Saranku, jangan mengatakan keinginan itu di depan ayah, atau dia akan mulai memikirkan cara untuk membinasakan semua perlengkapan gim di kamarmu."

Jesper menelan ludah, dia bergidik ngeri membayangkan semua perlengkapan gim miliknya dibakar dalam lautan api amarah ayahnya yang membara. "Aku berubah pikiran, tentu saja pedang jauh lebih keren dari senapan."

"Cepat sekali berubahnya," Laki-laki itu berusaha untuk menahan tawa, ketika menatap adiknya yang terlihat resah. Kemudian dia berdiri dari duduknya, mendongakkan kepalanya ke atas, dan melihat langit yang perlahan berubah kelabu. "Cepat bereskan semua makanan dan barang-barangmu, kita harus masuk rumah sebelum hujan."

Deadly Rose (New Story)Where stories live. Discover now