11

12.3K 1.2K 71
                                    

Kalau dulu, Nata paling malas pulang awal dari kantornya, sekarang berbeda. Pria itu tidak akan berpikir ulang untuk segera pulang setelah pekerjaannya selesai.

Apalagi pasca satu bulan istrinya keluar dari rumah sakit. Sesuatu yang manghantam dirinya karena mengetahui kabar kehamilan sekaligus keguguran yang dialami Kirana.

Sekarang, ia harus berbagi fokus antara pekerjaan, Kirana, dan juga...

...wanitanya.

"Saya belum makan," kata Nata siang itu, ketika pulang dari kantor.

Seperti biasa, tidak ada jawaban dari mulut Kirana. Wanita itu menyiapkan makan siang Nata.

Satu bulan ini, hubungan keduanya cukup baik meski Kirana masih bersikap dingin dan acuh.

Bagi Nata, ini lebih baik. Dari pada mereka bertengkar setiap hari, seperti dulu.

Ia sendiri, juga tidak ingin membuat wanita itu tertekan, karena sesuatu yang baik harus terjadi dalam keadaan yang baik pula.

Dan, calon anaknya membutuhkan itu.

Rencana yang sudah disusun secara matang, akan dilaksanakan begitu ada waktu yang tepat. Sekarang, ia ingin memulainya dengan baik.

Tanpa disadarinya, Nata sudah bermain menggunakan hati. Lupa, siapa lawan mainnya.

"Kamu sudah makan?" tanya Nata.

"Apapun yang ada di pikiranmu, singkirkan jauh-jauh. Aku tidak bodoh mengartikan sikapmu belakangan ini."

Sendok yang sudah berada dalam genggaman jemari pria tersebut terpelanting.

"Kamu mau aku hamil? Sekarang lakukanlah, setelah itu ambil anakmu, jangan libatkan aku."

Suara wanita itu tenang, sedikitpun tidak emosi.

"Kita akan membesarkannya bersama!!"

"Setelah anakmu lahir, tidak ada lagi kata kita."

Nata memejamkan matanya, berusaha berpikir logis tanpa membawa perasaan. Satu bulan ia menjaga semuanya hingga keadaan terkendali, sekarang lihatlah. Wanita itu terlalu licik.

"Anak kita dan kita orang tuanya!" nada tegas yang diucapkan Nata membentuk senyum sinis di bibir Kirana.

"Tidakkah kamu serakah? Aku masih menjaga kehormatanmu sebagai suami, terlepas kamu menjalin hubungan gelap dengan wanita itu."

Emosi Nata sedang tidak baik, usaha kerasnya di ambang kebimbangan.

"Kali ini, kita buat kesepakatan."

Rahang Nata mengeras, ketika ucapan bernada tegas dengan gaya tenang Kirana menusuk rungunya.

"Aku akan melahirkan anakmu, dan kamu melepaskanku."

"Omong kosong apa itu!?"

Kirana tersenyum, seperti dugaannya. Laki-laki itu tidak akan menerima usulnya.

"Kalau begitu, hamili pacarmu. Aku tidak masalah."

"Kamu sadar berbicara dengan siapa?"

Posisi mereka memang terhalang sebuah meja panjang dengan deretan mangkuk dan piring.

"Prinata----"

"Saya suamimu!!"

Gebrakan keras terdengar menggema, bersamaan dengan dentingan piring yang bergoyang.

Amarah Nata kembali mencuat ke permukaan.

"Kodratnya seorang istri tunduk pada suami!"

"Tergantung, suami macam apa. Apa cermin di rumah ini kurang besar?"

Nata menghampiri Kirana. "Kamu sengaja memancing emosi saya?"

Kirana ikut berdiri, membalas tatapan elang milik Nata.

"Aku bicara kenyataan, kamu merasa terpancing?"

Nata tidak suka nada bicara Kirana. Jelas-jelas wanita itu sedang menghinanya.

"Kirana!!"

"Mari kita selesaikan sekarang. Lakukan pilihan yang sudah kuberikan."

Nata menarik lengan itu dengan kasar, membawa tubuh wanita yang pernah mengandung benihnya ke kamar.

Amarahnya menggebu, sungguh Kirana sudah lupa batasannya.

"Ini yang aku terima. Apakah aku harus percaya padamu?"

Nata tertegun mendengar sindiran Kirana.

"Setiap hari, perlakuan seperti ini yang kurasakan. Apa pantas untukmu memintaku melahirkan anakmu?"

"Diam Kirana!"

Otak Nata bekerja keras, mencerna sekaligus mengingat perkataan wanita itu.

Kirana diam, bukan mengalah. Melainkan menunggu, apa yang akan dikatakan Nata.

Laju pikir keduanya secepat kilat. Menghubungkan detik yang sudah berlalu dan resiko ke depan.

"Tetap bersamama saya," kata Nata setelah diam sejenak, ia menatap tajam netra jernih Kirana. "Saya akan meninggalkannya."

Seharusnya Kirana speechless. Harusnya ia merasakan desiran aneh atau setidaknya pipi putih itu bersemu.

Kenyataannya, wanita itu tidak tersentuh sama sekali.

"Bagaimana caranya?"

"Percaya saja!"

Kirana tertawa dalam hati. Nata sudah masuk ke dalam perangkapnya. Perlahan, ia akan membalas setiap rasa sakit pada pria itu.

Keduanya diam, namun tak melepaskan pandangan. Kirana dengan raut tenang, dan Nata dengan sorot mata yang sulit diartikan.

"Apa aku bisa pegang kata-katamu?"

Kirana tahu, permainan ini tidak mudah. Tapi, ia tidak gentar.

"Lihat saja!"

Oke, kita lihat Nata. Batin Kirana.

Nata keluar, menutup pintu perlahan. Meninggalkan Kirana dengan wajah datar.

Rumah tangga yang penuh intrik dan kebencian.

Inikah yang diinginkan orang tuanya?

Menikah dengan anak angkat ayahnya yang tidak pernah dikenalinya. Satu kali bertatap muka dan langsung menjadi istrinya.

Lelaki yang bahkan tidak ada dalam bayangannya. Yang tidak pernah tersebut dalam doanya.

Rumah tanggapun, tidak pernah diimpikan Kirana.

Sejak pengkhianatan sang kekasih yang mati bersama selingkuhannya, kepercayaan Kirana pada laki-laki luntur.

Semua laki-laki sama.

Awalnya datang mengecap rasa manis, menanam janji semu dan mengobral manis sentuhan.

Kemudian, mereka pergi.

Pergi dalam arti tidak kembali.

Kali ini, ia yang akan membuat lelaki patah. Patah sepatah-patahnya.

Meskipun itu seorang Nata, anak angkat ayahnya.

LARA KIRANA ✔Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ