6

10.9K 1K 19
                                    

Gemuruh langit sore itu, menyibak perlahan awan yang mulai menghitam, dengan kilat putih sesekali menyambar mengagungkan serpihan mengilaukan setiap mata memandang.

Seorang wanita berdiri di balkon, penghubung kamar dengan teralis pembatas bangunan. Pandangannya menerawang, menatap langit berkabut pekat.

Antara dirinya dengan angkasa berbeda. Ketika gemerlap angkasa bergema, semua makhluk menyelinap di relung fatamorgana. Sedangkan wanita itu, tak ada teduh yang bisa diharapkan. Semuanya melebur dalam diri.

Merasakan seorang diri, kabut yang menggantung tak kenal musim dalam hidupnya.

Dia Kirana. Wanita malang dengan garis takdirnya.

"Ibu. Ini saya."

Kirana menoleh, matanya menatap tajam sosok wanita yang berdiri di belakangnya.

Risna.

"Maaf. Saya lancang masuk. Khawatir Ibu kenapa-kenapa karena sudah dari tadi saya ketuk pintunya."

"Ada apa?" tanya Kirana.

Risna tersenyum. Istri majikannya sangat ketus. Beda dengan dia, namun Risna menyukainya.

"Saya mengantarkan ini." Risna menyerahkan sebuah bungkusan. "Bapak menyuruh Ibu mengenakannya. Satu jam lagi bapak jemput."

Kirana menghela nafas. Apa yang dilakukan Nata sudah di luar batas.

Kirana mengambil bungkusan di tangan Risna dan melihat isinya.

Sebuah gaun berwarna merah darah.

Nata akan mengajaknya ke luar.

Kirana tidak suka. Dia tidak suka dunia luar.

"Saya tinggal, Bu." Risna meninggalkan Kirana setelah menunggu sebentar dan istri majikannya tidak memberikan respons.

Gaun itu tergeletak di ranjang Kirana. Menyatu dengan bed cover putih bercorak mawar merah.

Apa yang ada dipikiran pria itu hingga berani mengajaknya keluar?

Kirana memejamkan matanya. Menikmati kembali gemuruh di angkasa. Menyatukan diri dalam kibasan kilat dan rasanya, berseru bersamaan gemuruh yang memekakkan telinga.

Hidup terjuntai nestapa sudah dibiasakan raganya. Jiwanya pun ikut tenang. Tidak kalang kabut ketika goncangan meluluh lantakkan mimpinya.

"Apa yang kamu lakukan!?"

Tubuh Kirana tertarik ke belakang, hingga berada dalam dekapan Nata. Namun, paoisi itu tidak dipertahankan Kirana. Wanita itu menarik diri hingga berdiri di hadapan pria itu.

"Kamu mau hangus bersamaan petir!?" suara Nata menggelegar, tepat ketika suara petir dan gemuruh bersahutan.

Langit senja itu berubah kelam. Menanti rintik kristal dari sang pencipta.

"Ada apa?"

Tatapan tajam Nata menghunus tepat di manik netra Kirana. Namun, wanita itu tidak sedikitpun merasakan gentar.

Bahkan, sikap Kirana sangat tenang.

"Bersiaplah. Kita akan pergi!"

Kelopak mata Kirana mengerjap. Menatap datar pria yang sudah menikahinya itu.

"Aku tidak ingin pergi kemanapun." Kirana mendekati ranjangnya. Duduk menyamping, namun tidak membelakangi Nata.

"Kamu harus ikut!"

Kirana tertawa dalam hati. Pria arogan itu kembali memaksanya.

"Apa keuntungannya untukku?"

Mata keduanya beradu.

"Ini acara amal perusahaan. Dan, secara resmi semua karyawanku akan mengenalmu. Bukankah, itu luar biasa?"

"Aku bahkan tidak merasa bangga menyandang status ini."

Kirana merusak mood seorang Nata. Jelas sekali pria itu tersinggung.

"Pergilah! Aku tidak berminat."

"Tidak bisa. Karena semua kolega sudah menunggu kita."

Mata Kirana jatuh pada gaun yang masih berada di ranjangnya. Apa ia harus melangkah sejauh ini? Dua bulan pernikahannya dengan lelaki itu, tidak ada yang berubah kecuali laki-laki itu yang sudah jarang dilihatnya dan juga, sesuatu yang mulai tumbuh di dalam sana.

Sepertinya, ia harus meminta Risna membeli korset baru dan lebih bagus.

"Saya menunggu, Kirana!"

Mungkin kali ini saja. Bagaimanapun, tidak selamanya ia bisa menghindar dari Nata.

Sebelum, rencananya terlaksanakan!

Setelah Nata keluar, Kirana mengambil gaun pemberian pria itu. Harum dan kualitas kainnya tercium mewah.

Pantaskah ia mengenakan gaun tersebut?

Semua bisikan pesimis ditolak Kirana. Ini bukan permintaannya tapi sebuah keharusan yang akan ia jalani.

Setidaknya, sebelum semuanya selesai.

"Itu Ibu, Pak."

Nata melihat arah pandang Risna.

Kirana turun dari tangga dengan perlahan. Sebelah tangannya memegang sisi gaun dengan kepala tertunduk memperhatikan anak tangga yang dilewatinya.

"Ibu cantik banget!"

Kirana tidak menanggapi ucapan Risna yang sangat mengusik telinganya. Tatapannya beralih pada Nata.

Pria itu sedang menilai penampilannya.

Rambut disanggul dengan pemanis pita hitam melingkar sanggulan, terlihat cocok dengan bentuk wajah sang wanita.

Riasan tipis dengan rona sederhana, pewarna bibir pink natural, terkesan seksi dan menantang untuk ukuran bibir tipis tersebut.

Dan leher jenjang dan putih itu menambah kelebihan dalam diri putri kedua Agus Salim.

Batang leher itu sungguh ...

"Ikut saya ke kamar!"

🍁

LARA KIRANA ✔Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum