8

11.4K 1.1K 49
                                    

Nata terpaksa meninggalkan acara perdana penyambutan sekaligus memperkenalkan Kirana, sebagai istrinya.

Ia meminta Tria---asistennya---meminta maaf pada seluruh para tamu. Karena, ia ada keperluan mendadak yang tidak bisa ditunda.

Amarahnya tidak terkontrol lagi. Dengan mata kepalanya sendiri melihat bagaimana cara wanita itu pergi, hingga menimbulkan desas desus yang tidak mengenakkan.

Wanita itu menyulitkan keadaan dan tidak bersikap profesional. Nata tidak bisa menerima itu.

"Ibu mana?"

Risna yang membuka pintu ketika, mendengar suara mobil majikannya.

"Di kamar----"

Jawaban lengkap, kembali ditelan Risna. Karena majikannya sudah melewatinya, menaiki tangga menuju ke kamar Kirana.

Tidak ada wanita itu di kamar. Nata membuka pintu kamar mandi. Wanita itu juga tidak berada di sana.

Pencarian terakhirnya, balkon. Pintu kaca tertutup. Perlahan, ia membukanya.

Pemandangan yang pertama kali dilihatnya adalah kepulan asap putih. Sebelum bayangan itu menusuk netranya.

Angin malam menghembus, memberi rasa sejuk.

Kemarahan pria itu, berlipat ganda. Ketika melihat Kirana hanya mengenakan piyama tidur dengan celana pendek.

"Kamu mau mati?"

Wanita itu tidak terkejut dengan kedatangan Nata. Ia juga tidak menanggapi.

"Masuk!!"

Kirana bergeming. Masih dalam posisi yang sama. Sebatang benda berbahan dasar nikotin, mengapit di kedua jarinya.

"Masuk Kirana!!!"

Bentakan itu nyaris tak terdengar. Karena hati wanita itu sedang berlabuh. Melayari rasa dan lara bersamaan.

Tarikan pria itu berbekas merah di tangannya. Dan berjejak darah di dalam hati.

Dengan kasar, Nata mengambil rokok dari tangan Kirana.

Rasa dingin, bisa dirasakan pria itu dari lengan Kirana. Dalam temaram malam, mata keduanya beradu.

Namun tak satupun dari keduanya yang bisa melihat manik itu dengan jelas.

"Tubuhmu dingin!"

Dengan cepat, Nata menyelimuti wanita itu. Matanya menangkap wajah pucat istrinya.

Bahkan, bibir wanita itu ikut memucat. Seakan aliran darah dalam tubuhnya sudah berhenti di satu titik.

Dengan cepat, Nata mengambil ponsel dan menghubungi dokter pribadinya. Meski panik, Nata masih bisa berpikir jernih.

Ia masuk dalam selimut yang sama dengan Kirana dan memeluk tubuh itu. Tidak ada perlawanan, seperti yang biasa dilakukan wanita itu.

"Ada apa denganmu, Ki?"

Tangan Nata menyusup kebalik baju piyama Kirana, mengusap punggung wanita itu. Menghantarkan rasa hangat dari tubuhnya.

Setengah jam berlalu, Dokter Fandi---dokter pribadi Nata---tiba di kediamannya.

Risna terkejut dengan kedatangan dokter majikannya. Apalagi, ketika dokter Fandi bilang, Nata yang menghubunginya karena Kirana sakit.

Kemudian, dengan rasa panik, gadis itu mengantarkan dokter Fandi ke kamar Kirana.

"Dia, kekurangan oksigen!"

Kalimat pertama Dokter Fandi, ketika melihat wanita dalam pelukan Nata. Mata Nata ikut melihat wajah Kirana.

Dengan gesit, dokter Fandi memasang tabung oksigen kecil, menutupi hidung dan mulut Kirana.

"Kita bawa ke rumah sakit sekarang!"

Degup jantung Nata berpacu, berlomba dengan laju mobil dan klakson yang bersahutan.

Wajah pias wanita di pangkuannya menghujam jantung pria itu. Seumur hidup, ini kedua kali, Nata melihat wajah sepucat ini.

Begitu tiba di rumah sakit, Kirana di sambut para petugas. Gerakan petugas diperhatikan Nata secara mendetail.

Hingga cairan dalam botol plastik, memasuki urat wanita itu. Bersamaan dengan dokter, yang meminta petugas membawa Kirana ke ruang tindakan.

Dokter Fandi ikut masuk, meninggalkan Nata sendirian di depan ruang tindakan.

Selang beberapa menit, tiga orang dokter melewati Nata dan masuk ke ruang tindakan.

Apa yang terjadi?

Nata mengusap wajahnya.

Detik, menit, jam berlalu. Mata Nata tidak lelah memperhatikan pintu ruang tindakan. Berharap dalam hati, ada seseorang yang muncul dari sana.

Dua Jam tampak berlalu, kepala pria itu tertunduk. Ingatannya tertuju pada ayah angkatnya.

Ia sudah berjanji. Akan melakukan apapun untuknya. Termasuk tidak akan melukai putrinya.

Hingga, bertemu dengan kekasihnya pun, harus mencuri waktu dan kesempatan. Agar Kirana tidak melihat dan merasakan sakit.

Tepat jam dua belas malam, pintu ruangan terbuka. Menampakkan sosok dokter Fandi.

Nata tahu, ada yang tidak beres. Karena ia bisa merasakan tatapan tajam dokter pribadinya. Dan, itu hanya akan dilakukan dokter Fandi, ketika ia melakukan kesalahan.

"Ada ap---"

"Kalau kau tidak menginginkan wanita itu mengandung, sebaiknya kau cegah ketika kau menggaulinya!"

Nata terpaku mendengar kalimat dokter Fandi.

Apa maksudnya?

"Bicara yang jelas!!"

Dokter Fandi Hutama. Sahabat, sekaligus kakak buat Nata. Lelaki itu, bukan saja mengetahui perangai Nata. Ia juga tahu, asal usul pria tersebut.

Sampai Nata menyetujui menikahi Kirana, dirinya tahu.

"Dia keguguran. Bukan, ia menggugurkan kandungannya!"

Pertama kali yang dirasakan Nata adalah, sesuatu menghujam jantungnya. Kemudian, sebuah belati mengiris, tepat di ulu hatinya.

Hamil?

Sungguh ia tidak tahu.

Tapi, ia tidak melepaskan wanita itu. Ia akan membuat perhitungan. Karena, wanita itu sudah membunuh darah dagingnya.

Ia tidak menyangka, telah menikahi wanita yang tidak punya hati.

"Usianya masuk tiga bulan."

Nata terhenyak, untuk yang kesekian kalinya.

Tiga bulan?

Wanita itu sangat licik.

Dia, tak lebih dari seorang psikopat!

LARA KIRANA ✔Where stories live. Discover now