10. Menikah Dengan Gama 🌿

20.8K 1.2K 121
                                    

Putri mengamati wajah ayu penuh riasan di cermin bundar, kebaya putih bertabur berlian dengan ekor menjuntai melingkar indah di tubuh mungilnya.

Hari ini adalah saat yang amat sangat tidak dinantikan oleh gadis itu, seminggu ini ia berharap bahwa Gama akan berubah pikiran dan membatalkan perjanjian konyol mereka. Tapi, sayangnya pria itu masih tetap teguh pada pendiriannya.

Putri tak punya pilihan lain, apalagi tiga hari yang lalu ia mendapat kabar bahwa kondisi Amran kembali mengkhawatirkan. Keluarga Amran tak bisa berbuat banyak karena tak memiliki cukup biaya. Putri hampir putus asa, ia tak menyangka bahwa Gama adalah pria yang selalu memegang janji, ternyata pria itu segera mengurus segala keperluan rumah sakit bagi Amran bahkan sampai pria itu dinyatakan sembuh nantinya.

Jika pernikahan ini bisa menyelamatkan nyawa Amran, maka Putri rela. Biarlah ia menjalani semua ini dengan hati ikhlas, semoga sang kuasa memberinya banyak stok kesabaran, karena setelah ini Putri yakin, hidupnya tak akan pernah sama lagi.

Suara pintu berderit menyadarkan Putri saat sang ibu memasuki kamar.

Kemarin malam sang ibu menelponnya, meminta maaf tidak bisa hadir lebih awal karena keadaan di kampung yang tidak bisa di tinggal, apalagi berita pernikahan ini yang sangat tiba-tiba, sampai-sampai keluarganya di kampung terheran-heran dibuatnya.

"Ibu ...," sapa gadis itu dengan senyum tipis.

"Anakku ... cah ayu ... gimana kabarmu nduk?" tanya wanita paruh baya itu dengan mata berkaca-kaca.

"Putri baik, Bu," jawab gadis itu lembut.

"Kenapa bisa jadi begini, nduk? calon suamimu sudah menceritakan semua, tapi raut wajah sedihmu ini membuat Ibu ragu," ucapnya sendu.

Putri bergerak gelisah. "Memangnya ... Pak Gama cerita apa sama ibu?" tanya gadis itu.

Wanita paruh baya itu menghela napas. "Dia nggak cerita banyak, ndhuk. Cuma yang jelas kalian saling mencintai, begitu katanya. Tapi kenapa kamu malah terlihat tertekan?" tanya beliau lembut.

"Nggak kok, Bu. Putri cuma sedih aja, nggak bisa ke kampung jenguk ibu sebelum menikah," kilah gadis itu.

"Bener? ibu nggak mau kamu menikah karena terpaksa."

Putri memaksakan senyum. "Ibu tenang saja, Putri pasti bahagia."

Wanita itu menghela napas panjang. "Ya sudah. Ibu cuma bisa mendoakan kamu, Ndhuk. Semoga sang kuasa selalu menjaga dan melindungi rumah tangga-mu."

"Amiin ... Terimakasih, Bu," ucap Putri haru.

Ya, semoga saja.

___

Ijab kabul berjalan lancar, bertempat di sebuah masjid kecil sederhana, berdekatan dengan rumah orangtua Gama, tak banyak yang hadir di sana. Hanya ayah dan ibu serta paman dari pihak Putri, sementara Gama hanya bersama seorang wanita paruh baya yang ia panggil mama.

"Putri ...." Sebuah suara lembut menyapa gadis itu.

"Eh ... iya, Bu," sahutnya terbata.

"Panggil mama saja," ucap wanita itu ramah.

Putri mengangguk kikuk, merasa canggung bersama wanita itu.

"Gama itu sebenarnya pria yang baik," tuturnya lugas, "Hanya saja, sikapnya begitu kaku karena didikan papanya."

Putri menatap wanita yang kini resmi menjadi mama mertuanya itu, merasa tak mengerti kenapa ia harus diberitahu tentang hal itu.

"Mama harap, kamu mau bersabar menghadapi sikap kasar dan keras kepala anak itu."

Belum sempat Putri menjawab, sebuah lengan sudah lebih dulu melingkari pinggangnya. "Mama tenang saja, dia wanita hebat yang luar biasa," ucap pria itu seraya mengecup pipi Putri kilat.

Detak jantung Putri bertalu-talu, merasa terkejut dengan sikap Gama yang terlalu intim menurutnya.

"Syukurlah. Mama senang mendengarnya," simpulnya lega.

"Mama istirahatlah, pak Budi akan mengantar mama pulang."

Wanita itu mengangguk, lalu tersenyum hangat sebelum pamit pada Putri dan keluarganya.

"Apa yang kamu bicarakan dengan mama?" bisik Gama di telinga Putri.

"Tidak ada," Jawab wanita itu pelan.

"Jangan sesekali berani mengadu pada siapapun, atau kamu akan menyesal, Istriku sayang." Usapan lembut jemari Gama di pipinya membuat Putri meremang, seperti ada sengatan listrik yang menggetarkan jiwanya.

Putri mengangguk patuh, merasa tak ada artinya jika mendebat pria itu saat ini.

"Ndhuk ... ibu sama bapak langsung pulang, ya. Nggak bisa lama-lama ninggalin sawah kita di kampung."

Suara lembut ibunya membuat Putri menoleh. Matanya seketika berkaca-kaca. "Nggak nginep satu malam di sini bu?" tanya wanita itu memelas.

Sang ibu tersenyum. "Kamu itu sudah besar, sudah jadi seorang istri. Nggak malu toh sama suamimu menangis karena di tinggal ibu sama bapak pulang ke kampung?" gurau sang ibu.

Putri merasakan Gama menarik tubuhnya semakin merapat. "Lain kali kami pasti ke sana, Bu. Tapi untuk sekarang, pekerjaan saya benar-benar tidak bisa ditinggal. Mohon maaf tidak bisa mengantar bapak dan ibu," ucapnya tegas.

Putri menoleh seketika. Benarkah yang baru saja berbicara dengan sangat sopan itu adalah pria di sebelahnya ini? Atau Jangan-jangan ada jin baik yang sedang merasukinya?

"Sudah nggak apa, lagipula nak Gama sudah mau repot-repot memesankan tiket untuk kami. Maaf, tiket pesawatnya kami tolak, soalnya bapak takut jatuh katanya," ucap Ibu Putri tersenyum malu.

"Tidak apa, Bu. Sudah kewajiban saya," jawabnya singkat.

"Kalau begitu kami pamit, tolong dibimbing baik-baik istri kamu ini," ucap sang bapak.

Gama mengangguk sambil menyalami ketiganya, lalu ia memerintahkan seseorang untuk mengantarkan kedua orangtua Putri dan pakleknya ke terminal.

Setelah kepergian keluarganya, Putri segera ditarik pria itu menuju mobil yang terparkir di halaman masjid itu. Sungguh menyebalkan bagi Putri ketika dengan tidak mau tahunya Gama dengan kebaya yang sangat berat dan membuatnya kesusahan berjalan ini.

"Pakai sabuk pengamanmu," perintah Gama datar.

Putri mematuhinya sambil menggerutu dalam hati, pria ini adalah pria yang sangat pandai bersandiwara, begitu baik dan sopan ketika di depan keluarganya dan berubah kejam dan kasar ketika hanya ada mereka berdua saja.

Setengah jam kemudian, mobil memasuki sebuah pekarangan rumah minimalis bertingkat dua dengan halaman yang sangat asri.

Gama segera turun, lalu membuka pintu di sebelah Putri. "Turun," titahnya.

Wanita itu menghela napas sebelum mengumpulkan ekor kebayanya agar mudah diangkat ketika berjalan, tapi belum juga selesai, tiba-tiba sebuah tangan meraup tubuhnya, lalu Putri merasakan tubuhnya melayang, berayun seirama dengan ketukan sepatu dari pria yang sedang menggendongnya saat ini.

"Lama sekali," gerutu pria itu.

"Apa yang Bapak lakukan?" niat hati ingin menghardik, tapi hanya sebuah cicitan lah yang mendarat dari bibir wanita itu.

"Menggendong pengantinku, memangnya apa lagi?" tanyanya santai seraya menutup pintu utama dengan sebelah kakinya.

"Welcome home, My Wife," bisik pria itu tepat di telinga Putri.

Perasaan aneh menggelitik jiwa Putri, tubuhnya yang meremang seakan mewangi-wanti bahwa ada yang tidak beres dengan wanita itu.

Gama membuka sebuah pintu, melangkah tegap menuju sebuah ranjang lebar yang berada di tengah ruangan, lalu tanpa aba-aba menjatuhkan tubuh mungil wanita itu di sana.

"Sekarang, saatnya kamu menerima hukuman, Sayang," ucapnya menyeringai.

____

Next Or No???!

MILIK GAMA - (REPOST) - [PINDAH KE DREME]Where stories live. Discover now