Healing Souls

Mulai dari awal
                                    

Aku beranjak dari kursi. Pandanganku tertuju pada pintu kamar Taehyung yang berada di depan dapur. "Jeongguk-ah, apa kamar Taehyung terkunci?"

Lelaki itu menaikkan alisnya. Sejenak ia menatapku dengan pandangan kosong, lantas ia mengangguk cepat. "Ya, ya. Ia membawa kuncinya."

Kemudian aku segera berjalan menuju ruang penyimpanan yang terletak di depan kamar Jimin dan Hoseok.

Ruangan itu digunakan untuk menyimpan pakaian-pakaian yang tak cukup untuk lemari kami, juga beberapa box yang berisi pemberian penggemar dan surat-surat. Aku berjalan menyusuri ruangan gelap itu dan mengambil kunci cadangan yang disematkan di antara gantungan baju.

Manajer Sejin yang meletakkannya di sana.

Lantas, aku berjalan keluar sementara Jeongguk menatapku terkejut.

Aku pun berjalan ke pintu kamar Taehyung dan membuka kuncinya. Tanganku menggenggam gagang pintu besi yang dingin itu, mendorongnya perlahan.

Mataku membulat begitu pintu itu terbuka lebar. Dapat kudengar napas Jeongguk tercekat.

Ruangan itu ...

Kacau.

Barang-barang Taehyung tergeletak di lantai, kanvas, kuas, dan beberapa alat lukis lainnya.

Jendelanya terbuka lebar. Cahaya matahari pagi menyinari tembok putih yang dikotori oleh cat merah darah dan hitam. Tak ada bentuk yang tergambar di sana. Taehyung tak berniat melukis apa-apa.

Pandanganku tertuju ke bawah, dua kaleng cat tergeletak, salah satunya masih mengeluarkan cairan yang mengalir di lantai.

Dapat kugambarkan dalam pikiranku saat Taehyung melempar botol catnya ke dinding. Mungkin sambil berteriak, mungkin juga menangis.

Aku meringis.

Membayangkannya saja sudah cukup membuat hatiku perih. "Aku akan menelepon Sejin hyung," ucapku dengan suara bergetar.

***

Song Dain
Salon, 15th September 2018

Sudah lima jam semenjak terakhir kali aku menerima pelanggan. Aku memencet tombol kipas agar benda itu berputar semakin kencang. Ruangan ini terasa pengap meski musim gugur telah tiba.

Aku berjalan ke kursi panjang yang terletak di hadapan jendela kayu. Angin bertiup tenang, dapat kulihat jalanan aspal serta kebun apel milik tetanggaku di depan.

Pikiranku melayang. Di saat-saat seperti ini, aku selalu memikirkan seseorang.

Penyelamatku.

Jung Haein, orang yang berhasil menyalakan cahaya kehidupanku yang mulai redup.

Tombol hijau di ponselku kutekan tanpa banyak berpikir.

"Dain-ah, wae? Ada sesuatu yang terjadi?" tanya lelaki itu begitu sambungan telepon terhubung. (Kenapa?)

Senyum tipis terukir di wajahku. "Gawat, aku dalam situasi darurat."

"Hah? Situasi darurat apa? Cepat beri tahu aku," ia terdengar panik.

"Bagaimana ini," ucapku dengan suara pura-pura kesakitan. "Sepertinya aku.. merindukanmu. Hehe."

Aku mengeluarkan tawa yang aku tahan sedari tadi. Dapat kudengar Haein juga tertawa dari ponselku.

"Ah.. Jantungku. Padahal tadi aku benar-benar khawatir." Lelaki itu berdeham. "Tapi aku juga. Sungguh."

"Geureonikka, kapan kau ke sini?" (Maka dari itu)

Arcadia | KNJTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang