Mata Gyandra membulat, "seriusan, Rin?"

"Kan kita numpang tuh di rumah dia, masa aku diem - dieman aja kaya parasit."

"Kalau aku niatnya gitu sih, Rin," timpal Gyandra tanpa merasa bersalah, "aku mau fokus ke bisnis."

Airin berdecak pelan, capek juga bicara dengan orang tidak peka.

Mereka tiba di sebuah rumah modern minimalis yang cukup besar untuk ditempati satu orang. Tamannya terawat, seragam dengan rumah yang lainnya. Sebuah mobil Juke berwarna kuning diparkir di carport. Warna yang cukup trendi, pikir Airin, sudah pasti kakak Gyandra berjiwa muda.

Airin berdiri di belakang Gyandra saat gadis itu memencet bel. Dan ketika terdengar anak kunci diputar, Gyandra berkata, "Kum!"

Saat pintu dibuka, Airin muncul dari balik tubuh Gyandra dengan senyum sisterhood termanisnya dan mengucapkan salam versi lebih panjang, "Assalamualaikum, Mba-" tapi kemudian dahinya mengernyit ngeri, "Mas?"

Pandangan pria di balik Gyandra bergeser dari adiknya ke wajah Airin. Pria itu tidak benar - benar tersenyum, namun dari sorot matanya Airin tahu pria itu sedang menertawakannya.

Pilih sepatu bareng. Karir bagus. Telat nikah. Perhatian. Tadi Airin bilang, persis seperti itu yang ia mau karena ia berpikir kakak Gyandra adalah seorang wanita modern. Tapi ini, jangankan seorang wanita, jelas - jelas yang berdiri di pintu adalah pria. Dan bukan sembarangan pria. Bagaimana bisa Pandji yang berdiri di sana? Bagaimana bisa Pandji menjadi kakak Gyandra?

Airin resah, apakah Tuhan juga mendengar ocehannya soal jodoh saat di parkiran gedung resepsi? Juga ocehannya di jalan saat menuju kemari? Apakah Tuhan marah?

Gadis itu mengerjap pelan, Tuhan... soal jodoh itu... aku nggak serius. Mohon dimaafkan. Amin.

"Masuk!" pria itu mempersilakan mereka masuk lebih dulu.

Ketika melewati tubuh besarnya, Airin berusaha menahan napas agar tidak menghirup wangi maskulin Pandji. Masih dalam setelan kerja walau kemejanya sudah tidak disisipkan, rambut cepak yang ditata rapi dengan gel, dan campuran aroma keringat, cologne, dan tembakau entah mengapa menjadi perpaduan yang membuat Airin waspada. Pandji bahkan terlihat lebih menggiurkan dibanding dalam balutan beskap.

Ya Tuhan, kalau begini ceritanya mana bisa tahan, jerit Airin dalam hati. Hei, Tunangan Orang, kenapa kamu ganteng sekali sih?

"Lo udah makan belum?"

Airin mendengar Gyandra bertanya lalu pria itu menjawab, "kenapa emang?"

"Temen gue beliin lo makan. Gue bilang lo baru pulang kerja, jadi dia pikir lo belum makan." Jelas Gyandra, "eh, kenalin, ini teman sepermasalahan gue, namanya Airin." Gyandra menoleh pada Airin, "ini kakak aku namanya Pandji. Tahun ini dia tiga puluh dua-"

"Ya udah-" sela Pandji cepat walau masih tenang, "taruh aja di meja." Pandji menatap Airin sebelum mengucapkan, "makasih ya."

Pandji menahan pekik kemenangan saat mendapati pipi Airin memerah, lucu sekaligus cantik. "Sama - sama, Mas. Tapi itu porsinya nggak banyak, tadinya aku pikir kakaknya Gyandra... cewek."

Gyandra tercengang, "kok bisa, Rin?"

Pandji sangat menikmati pemandangan kala gadis itu meringis dan bergerak tidak nyaman di atas sofanya. Bibirnya yang berkilau berkata, "kita berdua cewek, terus kamu pengen kita numpang di sini, aku pikir kakak kamu cewek. Belum lagi tadi cerita tentang sepatu," Airin menangkup wajah dan jemari lentik itu terlihat oleh Pandji, sedikit mengusik gairahnya, "Udah ah! Malu."

Tanpa riasan ala pengiring pengantin yang tebal, Pandji menyadari betapa mudanya gadis itu. Mimik wajah alaminya menyiratkan kepolosan, tidak berpengalaman, tapi sekaligus menyimpan keingintahuan yang besar. Jika dia dan Gyandra seumuran, itu artinya ada jarak sepuluh tahun membentang di antara mereka. Apakah Airin akan cocok untuk sebuah hubungan kasual? Atau lebih gampangnya hubungan tanpa memikirkan masa depan alias jalani saja?

Romantic RhapsodyWhere stories live. Discover now