"Hah? Masa sih?" tanya Ibu Jean, "Dayu kan pacar pertama Bagas."

"Ya, begitulah. Bagas sendiri yang mengatakan terus terang pada Dayu beberapa minggu lalu. Barangkali itu juga yang membuat Bagas ragu saat acara lamaran tadi."

"Tapi kan—" Pak Herman mencoba mengungkapkan sesuatu, tapi tidak jadi.

"Sori banget ya, Man." Pak Ida Bagus menyentuh bahu calon besannya. "Sori kita nggak jadi besanan. Saya sebenarnya menaruh harapan besar pada Bagas. Saya bangga sekali, bakal jadi calon mertua dokter berbakat seperti dia. Tapi ternyata cintanya pada putri kami tidak lebih besar dibanding cintanya pada perempuan itu. Saya ingin marah sebenarnya, tapi cinta kan nggak bisa dipaksakan, ya?" Pak Ida Bagus menepuk lengan Pak Herman yang hanya bisa mengangguk-angguk.

"Justru kami yang harusnya minta maaf, Gus. Maaf, Bagas sudah mengecewakan keluarga kalian."

"Kita orang tua cuma bisa berdoa dan dukung aja setiap keputusan anak-anak. Tadi juga Made udah coba ngasih saran sama Dayu, supaya dipikirin lagi keputusannya ini. Tapi namanya anak perempuan Ida Bagus, sama keras kepalanya kayak bapaknya, ahahah..." Pak Ida Bagus tergelak, tapi goretan kecewa tidak luput memancar dari matanya.

Mendengar itu, Ibu Jean berbalik. Dia berlari kecil ke arah Dayu dan Ibu Made. "Nak Dayu," panggilnya. Dayu mengangkat kepala begitu Ibu Jean mendekat.

"Kamu nggak serius dengan keputusan ini, kan Nak?" Mata Ibu Jean bergantian memandang gadis itu dan ibunya.

"Saya serius, Tante..." jawab Dayu lemah. Ibu Made menggenggam tangannya lebih erat.

"Jeng, bagaimana ini?" tanya Ibu Jean pada calon besannya.

"Pertunangan ini, juga pembatalannya, sepenuhnya adalah keputusan Dayu. Saya hanya bisa dukung dan mendoakan saja, apa yang terbaik menurut anak saya, Jeng," jawab Ibu Made, matanya berkaca-kaca.

"Kamu tahu siapa perempuan itu, Nak Dayu?" Ibu Jean mengalihkan pandangan ke arah Dayu yang kembali terisak dalam pelukan Ibu Made. Dayu mengangguk.

"Kata Mas Bagas, dia sudah mencintai gadis itu sejak lama, Tante. Katanya, perempuan itu adalah orang terpenting dalam hidup Mas Bagas. Saya selamanya tidak akan pernah bisa menang kalau harus bersaing dengan dia, Tante," jawab Dayu disela isak tangis.

"Apa maksud kamu? Gadis yang mana? Bagas belum pernah punya pacar selain kamu." Kening Ibu Jean berkerut.

"Mas Bagas lebih mencintai Anaya dibanding saya. Dia sendiri yang bilang begitu. Katanya, dia sudah mencintai Anaya selama dua puluh satu tahun, sejak gadis itu lahir. Dia baru bersama saya selama setahun, katanya jangan harap Bagas bisa mencintai saya sedalam dia mencintai adiknya. Tidak ada harapan bagi saya untuk memenangkan cinta Mas Bagas, jika harus bersaing dengan Anaya, kan?" Dayu menerima saputangan yang diberikan oleh ibunya, lalu mengeringkan air mata di pipinya.

"Tapi, tapi, Anaya itu kan adiknya Bagas, Nak," sela Ibu Made. "Jenis cintanya pasti beda."

"Tetap saja. Saya tidak mau seumur hidup dalam pernikahan dipenuhi oleh rasa cemburu terhadap adik ipar sendiri. Saya menginginkan seorang suami yang cintanya utuh, bukan yang terbagi-bagi seperti cinta Mas Bagas."

"Tunggu. Apa Tante nggak salah dengar? Bagas mencintai Anaya?" Ibu Jean duduk di sebelah Dayu, "Cinta yang bagaimana maksudnya?"

"Entahlah, Tante. Yang pasti, sewaktu saya minta pertunangan ini dibatalkan, Mas Bagas tidak menolak. Dia terlalu sibuk menggenggam tangan Anaya, mengkhawatirkan Anaya, mempedulikan keselamatan Anaya, sampai tidak merasa kalau kepalanya sendiri berdarah tertimpa tiang. Saat Anaya ada di sampingnya, Mas Bagas tidak menyadari saya ada. Saya ini nggak kelihatan kalau ada Anaya. Bagaimana saya bisa hidup seperti itu, Tante. Tolong, mengerti saya." Dayu kembali menangis. Ibu Jean menghela napas yang terasa berat.

"Tante mengerti," ujar Ibu Jean mengelus lengan Dayu, "Kamu yakin, tidak akan menyesal membatalkan pertunangan ini?"

"Yakin, Tante," jawab Dayu mengangguk, tapi airmatanya bertambah deras. Kedua lelaki paruh baya berjalan berdampingan ke arah mereka.

"Oke, Jean. Saya sekeluarga permisi dulu kalau begitu. Kami pamit pulang ke Bali malam ini. Sampai ketemu di lain kesempatan, semoga di acara bahagia. Ayo Bu, Dayu, kita pulang." Pak Ida Bagus merangkul istrinya lalu pergi meninggalkan Pak Herman setelah berjabat tangan, meninggalkan pasangan suami istri itu saling berpandangan.

"Gimana ini ceritanya, Pa? Kenapa jadi begini? Apakah kita harus kasih tahu Bagas yang sebenarnya?" tanya Ibu Jean.

"Hmm, sebaiknya begitu. Yuk," ajak Pak Herman, merangkul bahu Ibu Jean, berjalan menuju pintu masuk IGD.

***15082019***

Duuuh, putus cinta tuh sakitnya terasa sampai ke ubun-ubun. Ya nggak, sih?
Tapi katanya, lebih baik pernah merasakan jatuh cinta lalu patah hati, daripada belum pernah merasakan cinta sama sekali.
Bener ga, sih?

Semoga kita diberikan cinta yang tak lekang oleh waktu, ya. Cinta tulus yang abadi.
Cieh cieeeh...

Much Love,
Dött

Ingin Kumiliki Where stories live. Discover now