6. He'll be mine

273 21 4
                                    

Sejak makan malam dua minggu lalu, Anaya belum bertemu Dayu lagi. Anaya tidak ambil pusing, lha wong Bagas setiap hari ada di rumah, jadi dia bisa dengan puas menghabiskan waktu bersama Bagas. Dayu itu tidak penting buat Anaya. Ya, kira-kira begitu. Tapi siang tadi Anaya menerima pesan teks:
Hai, Anaya. Ini Kak Dayu.
Bisakah kita ketemuan?
Kafe Moonblack, Jalan Komodo, jam 5 sore.
Ditunggu yaa,
Dayu

Setelah mengemasi barang-barang, Anaya pamit pada teman kerja kelompoknya untuk pulang lebih dulu. Dengan hati gundah, gadis itu berjalan kaki ke kafe yang dimaksud.

"Hai, Anaya. Sebelah sini," panggil Dayu melambaikan tangan dari meja di pojok ruangan kafe yang agak lengang. Anaya menghampiri Dayu dan mengambil tempat duduk yang berseberangan dengan dokter muda itu.

"Maaf, agak telat, Kak. Habis kerja kelompok," kata Anaya begitu duduk.

"Ah, nggak telat kok, Kakak juga baru sampai. Mau pesan apa?" tanya Dayu menyerahkan buku menu.

"Oh, terima kasih," sahut Anaya menerima buku kecil yang diikat pita merah.

Samar-samar terdengar Taylor Swift mendendangkan lagu 'Me'. Anaya dan Bagas suka lagu ini. Tadinya, Anaya akan mengetukkan jari ke meja kayu seirama musik. Tapi sayang, tatapan mata Dayu yang tajam membuatnya gugup, sehingga lagu itu sama sekali tidak bisa Anaya nikmati seperti biasanya. Tatapan Dayu begitu menikam, seperti bisa menembus buku menu yang sengaja Anaya buka lebar menutupi kedua matanya.

"Maaf, selamat sore, boleh saya catat pesanannya, Kak?" tanya seorang gadis muda berpakaian merah-hitam, seragam Kafe Moonblack.

"Saya pesan Cappuccino, ukuran regular, one sugar," jawab Dayu tegas.

Pelayan itu mengetuk gawainya, Anaya melirik perempuan di hadapannya dari balik buku menu. Dingin. Begitulah yang Anaya rasakan. Ekspresi Dayu seperti Snow Queen dalam film C.S Lewis yang semalam Anaya tonton bersama Bagas.

"Kalau Mbak?" tanya pelayan itu, menunggu jawaban Anaya.

"Ehm... Saya... Iced Green Tea, less sugar. Makasih," kata Anaya, menaruh buku menu di atas meja.

Gadis pelayan itu mengulangi pesanan mereka, mengatakan akan segera kembali, kemudian berlalu setelah mengambil buku menu dari meja.

"Kuliahnya sibuk, An?" Dayu membuka percakapan.

"Ya, begitulah. Lagi sibuk persiapan pagelaran akhir tahun aja," jawab Anaya canggung. Dayu terdiam beberapa saat, jemarinya memainkan tali tas yang menjuntai di pangkuannya.

"Ehem. Saya langsung aja, ya. Hmm, dua minggu belakangan ini, saya sulit sekali kalau mau menemui Mas Bagas." Dayu memiringkan kepala dengan mata tajam menatap Anaya.
"Practically, cuma ketemu di rumah sakit aja. Kamu tahu dia ke mana, ngapain aja?" tanyanya.

"Hmm, kurang tahu, Kak," jawab Anaya kikuk. Dia tidak rela mengakui kalau Bagas selama ini sudah dimonopoli, tapi juga tidak ingin berdusta pada calon kakak iparnya. Entah kenapa, Anaya merasa seperti sedang disidang di pengadilan.

"Kamu tahu?" tanya Dayu, melipat tangan di atas meja, "Setiap saya minta bertemu, Mas Bagas selalu tidak ada waktu. Dia bilang harus jemput kamu kuliah, antar kamu latihan, menemani kamu nonton bioskop, atau lagi jalan-jalan keliling mal. Sama kamu!" kata Dayu menjelaskan. Suaranya sedikit bergetar, seperti menahan kesal yang berkepanjangan.

"Hmm, saya nggak minta Mas Bagas melakukan semua itu, Kak." Anaya memainkan jemarinya di kolong meja, seperti anak kecil yang ketahuan mencuri jambu tetangga.

"Jujur ya, saya kesal. Mas Bagas itu kan calon tunangan saya, tapi dia selalu sibuk sama urusan kamu."

"Hmm, Mas Bagas selalu begitu kok sejak dulu. Dari sebelum jadi dokter, Mas Bagas—" Anaya tidak berani melanjutkan ucapannya. Dia membuang pandangan ke luar jendela, berharap Bagas datang untuk menyelamatkan dirinya dari cengkeraman kuku-kuku tajam Dayu. Tapi tempat parkir kosong melompong, tak ada harapan kakaknya bisa datang menolong.

"Saya tahu. Tapi sekarang keadaan sudah berbeda. Dia akan jadi suami saya. Cepat atau lambat, kamu harus belajar mandiri, karena sebentar lagi Mas Bagas harus mulai mengurusi saya dan juga mungkin anak-anaknya." Di akhir perkataannya, Dayu mengetukkan jari telunjuk dengan keras di atas meja. Anaya tersentak, hatinya pilu membayangkan Bagas tidak akan ada lagi untuknya. Bagaimana Anaya bisa melanjutkan hidup tanpa Bagas?

"Ap-apa maksud Kak Dayu?" tanya Anaya dengan suara bergetar.

"Saya mohon, mulai sekarang kamu harus menjaga jarak dengan Mas Bagas. Kurangi kebersamaan kalian, karena sebentar lagi itu akan menjadi hak saya. Bisa kan, Anaya?" Dayu menatap Anaya tepat di manik matanya, ada kilat kebencian tersirat di sana.

"Ta-tapi, dia kakak sa-saya satu-satunya." Anaya mencoba bernegosiasi, berharap Dayu bisa lebih pengertian. "Ka-kami sudah terbiasa dekat. Bagaimana saya bisa menjauh darinya?"

"Kamu harus bisa. Kalau tidak bisa, saya akan membuat Mas Bagas pindah dinas ke rumah sakit milik ayah saya, di Bali. Saya beri kamu waktu untuk  mengurus masalah ini sampai lusa, hari pertunangan kami," tandas Dayu tegas, bertekad memberi pelajaran pada calon adik ipar yang super manja itu. Anaya terdiam dan menunduk dalam.

"Cappuccino dan Iced Green Tea-nya, Kakak? Silakan..." Pelayan kafe datang membawa pesanan mereka.

"Tolong kamu pikirkan baik-baik permintaan saya. Kamu nggak mau kan, dianggap sebagai perusak rumah tangga orang?" Dayu bangkit berdiri, menaruh uang seratus ribu rupiah di dalam nampan, ketika pelayan itu menaruh minuman di atas meja, lalu pergi meninggalkan Anaya yang masih termangu.

"Maaf, Kak. Minumannya?" tanya pelayan itu pada Dayu.

"Buat kamu aja," sahut Dayu tanpa menoleh. Anaya menaruh kening--yang tiba-tiba pening--di atas lengan yang dia lipat di atas meja. Satu per satu bulir airmata jatuh ke pangkuannya, Anaya terisak pelan.

***12082019***

Dött pernah didatangin sesecewek, dia minta Dött nggak jadian ama pacarnya.
Lha ntuh cowok bilang dia jomlo, piye toh ada ceweknya ngelabrak eike?
Semoga kita dijauhkan dari para mantan yang sok-sok masih merasa memiliki, yaa

Much Love,
Dött

Ingin Kumiliki Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang