7. In another lifetime

262 20 12
                                    

Anaya memandang bayangannya di cermin lift, matanya sembap. Dia mencoba tersenyum dengan beragam gaya. Senyum lebar plus gigi, senyum miring, senyum jahil plus kedipan sebelah mata, senyum tanpa kelihatan gigi, senyum jenaka, dan senyum lain-lainnya yang ada di muka bumi. Tetap saja, wajahnya kelihatan murung.

Ting!
Lift tiba di lantai enam belas, lantai apartemen Bagas. Anaya melangkah ke luar, menenteng dua dus Pepperoni pizza kesukaan Bagas. Dengan tangan yang bebas, dia memijat pipi dan kembali melatih senyumnya.

"Hai, Gorgeous!" sapa Bagas begitu membuka pintu apartemen. Satu kecupan mendarat di kening Anaya. Gadis itu menghambur ke pelukan Bagas, merangkul erat, menghirup harum sandalwood kesukaannya.

"Hei, hei. Kenapa, Ay?" Bagas membelai rambut gadis itu.

"Nggak apa-apa, kangen aja," jawab Anaya, masih membenamkan wajah di dada Bagas.

"Ayo masuk. Eh, bawa apa?" Bagas mundur satu langkah, menyilakan Anaya masuk ke apartemen berlantai kayu sintetik.

"Pizza."

"Asiiik. Tahu aja deh kalau Mas belum makan," komentar Bagas dengan riang.

"Telepati, kan." Anaya menyerahkan dus pizza ke tangan Bagas.

"Mau minum apa? Ada jus nenas nih, mau?" tanya lelaki itu membuka pintu kulkas di dapur mininya, setelah meletakkan dus pizza di atas meja makan. Anaya mengangguk.

"Enak nggak, Mas, tinggal di apartemen?" Anaya berjalan pelan mengitari sofa ruang duduk, mendekati jendela besar di sisi lain ruangan. Lampu rumah dan kendaraan berkerlap-kerlip di bawah sana. Sesekali terdengar klakson dibunyikan, pastinya angkutan kota yang mencoba menarik penumpang.

"Ya, enak nggak enak."

"Enaknya apa?" Anaya menoleh ke arah kanan, meja bulat berkursi empat terlihat rapi dan bersih. Satu pot kaktus bertengger di tengah meja, dialasi rajutan berbentuk lingkaran.

Bagas berjalan ke arah dapur ukuran mini, mengambil gelas di rak peniris piring di sebelah bak cuci. Di sebelah kiri bak cuci piring, terdapat kompor dan oven kecil di konter bagian bawah. Beberapa pisau tampak tertempel di dinding, juga sebuah vas di pojokan diisi air dan daun bawang.

"Enak. Soalnya dekat rumah sakit, cuma sepuluh menit." Bagas menuang jus berwarna kuning muda ke dalam gelas, kemudian meletakkannya di atas meja makan. "Ini, minum dulu," katanya.

"Nggak enaknya apa?" tanya Anaya, sekarang duduk di kursi yang baru saja ditarik Bagas.

"Nggak ketemu kamu," goda Bagas menatap lekat wajah lelah Anaya. Hidung mereka begitu dekat. Bagas tersenyum, Anaya balas tersenyum.

"Minum Mas Bagas mana?" tanya gadis itu mengalihkan pembicaraan karena dadanya mulai berdentum tak keruan. Anaya membuka kotak pizza, berusaha menyibukkan diri agar tidak terlihat gugup.

"Belum haus," jawab Bagas, masih memandangi Anaya dari dekat.

"Nggak usah ngelihatin gitu deh, nanti Aya luntur, Mas." Anaya menggigit ujung potongan pizza pepperoninya. Kok rasanya sedikit pahit, ya. Tapi dia memaksakan diri untuk mengunyah dan menelannya.

"Ay, sebentar lagi Mas akan tunangan. Kamu nggak keberatan, kan?"

"Ya, nggak lah. Kenapa musti keberatan?"

"Mas nggak mau kamu kesepian atau merasa ditinggalkan, merasa Mas diambil Kak Dayu. Apalagi sekarang kamu sudah nggak punya Erik. Mas pengin kamu tahu, kamu masih prioritas utama Mas. Kamu bisa datang ke sini kapan saja, menginap juga boleh. Kamu bisa telepon Mas kapan aja, mau minta apa aja juga boleh, Mas akan sanggupi sebisanya." Bagas mengambil satu potong pizza dan memakannya dalam tiga kali gigitan. Anaya memandangi kakaknya dengan hati pedih.

"Nggak apa-apa kok, Mas. I'll be fine." Anaya buru-buru menaruh sisa pizza di atas tissue lalu meminum jus, sebelum Bagas menyadari getaran dalam suaranya. "Kalau nanti sudah nikah, Kak Dayu dan anak-anak Mas justru yang harus jadi prioritas, bukan Aya."

"Jangan ngomong gitu, dong Ay. Mas jadi sedih nih." Bagas meraih tangan Anaya dan mencium telapaknya. "Mas boleh jujur, nggak?"

Anaya mengangguk.

"You are my first love, and you will always be my number one, for ever," bisik Bagas membawa tangan mungil Anaya ke pipinya. (Kamu cinta pertamaku, dan kamu akan selalu jadi nomor satu bagiku, selamanya.)

"Cepat atau lambat, kita harus mengucapkan kata perpisahan, might as well do it now (mending sekalian sekarang aja). Mas Bagas kan sebentar lagi menempuh hidup baru. Dalam gambaran kehidupan Mas yang baru nanti, nggak akan ada tempat buat Aya." Anaya merasakan tangannya basah, Bagas menangis. What? Bagas, sosok tergagah di mata Anaya, menangis? Lelaki itu menangis? Anaya ikut terisak.

"Maafkan Mas, ya Ay. Kalau suatu hari Mas terlahir kembali, Mas nggak akan mau jadi kakak kamu."

"Kenapa? Mas kapok selalu disusahin ama Aya? Kenapa Mas ngga mau terlahir jadi kakak Aya lagi? Lalu nanti Aya sama siapa? Hiks, hiks." Anaya menyandarkan kepala di bahu kokoh Bagas.

"Kalau boleh dilahirkan kembali, Mas ingin jadi orang asing aja, yang ketemu kamu di Gedung Budaya, yang ngajak kenalan trus ngajak kencan, biar bisa bawa kamu ke pelaminan."

"Mas..."

"Kalau pertunangan ini bisa dibatalkan, Mas bersedia. Lebih baik Mas tumbuh tua bersama kamu, menjaga kamu seumur hidup. Jika dengan begitu Mas harus menjomlo selamanya, juga nggak apa-apa."

"Mas, huhuhu...." Tangis Anaya pecah. Mereka berpelukan dan menangis bersama, seperti waktu Pak Herman dan Ibu Jean harus pergi ke Singapura dan meninggalkan mereka di rumah Nenek. Mereka menangis sampai jalanan di bawah sana sepi, sesepi hati kedua hati mereka. Sesunyi makam Nenek di tengah malam. Mungkin juga akan sehening hari-hari yang akan datang.

***13082019***

Readers kesayangan,
Pernah nggak, harus ngucapin kata perpisahan padahal nggak pengen?
Lebih sakit mana, ninggalin atau ditinggalin?

Pernah nggak, berharap memutar waktu biar nggak pernah ketemu aja ama orang itu, orang yang ninggalin kita?

Much Love,
Dött

Ingin Kumiliki Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang