9. I can't win

256 21 2
                                    

"Aya? Aya? Bangun, Ay. Bangun!" Bagas meremas bahu Anaya, mengecek napas dan denyut nadi gadis itu. Dia tidak mempedulikan darah yang mengalir dari belakang kepalanya akibat tertimpa tiang gipsum. Rupanya, Lina dan Lita yang saling rebutan keranjang, tanpa sengaja mendorong seorang Bapak yang berdiri di samping tiang itu. Bapak yang hilang keseimbangan, mencoba berpegangan pada tiang hiasan tapi malah membuat tiang itu tumbang.

"Mas, kepalamu berdarah," kata Dayu. Segera dia menyambar serbet di meja makan, lalu menekan bagian belakang kepala Bagas untuk menghentikan pendarahan. "Mas, ayo ke rumah sakit."

Bagas menoleh begitu mendengar kata rumah sakit disebut. Dengan sigap dia menggendong Anaya yang masih tidak sadarkan diri. Sambil berlari ke luar ruangan, Bagas terus membisikkan ke telinga Anaya, "Stay with me, Aya. Stay with me. Aya, please buka matamu, please."

Dayu terpaku di tempatnya. Bukan hanya karena Bagas pergi begitu saja, tanpa menggubris dirinya, tanpa mengecek kabarnya, tapi juga karena setengah tidak percaya, bahwa Bagas yang dia cintai setengah mati, memilih menyelamatkan Anaya padahal Dayu juga berada di posisi yang mungkin bisa tertindih tiang itu. Gadis itu memandang bagian samping gaunnya yang robek tersangkut hook dari tiang yang barusan roboh.

"Gimana ini, Yu?" tanya Yos.

"Batalkan pertunangan ini," gumam Dayu. "Persilakan tamu menikmati hidangan, tapi pertunangan ini batal." Dayu memandang cincin di atas bantalan dalam nampan, yang tergeletak di lantai panggung, tempat tadi Anaya dan Bagas jatuh berpelukan. Dayu membuang muka. Bergegas dia pergi, menyusul Bagas ke rumah sakit. Masalah ini harus segera dituntaskan, biar kalaupun Dayu mati besok, dia tidak akan jadi arwah penasaran.

Ruang tunggu IGD rumah sakit cukup lengang di hari Minggu pagi. Ibu Jean tampak berbincang dengan Ibu Made, dengan alis bertaut. Kedua wanita itu sesekali bergenggaman tangan dan melempar pandangan ke arah pintu IGD. Tak berapa lama, pintu terbuka. Pak Herman, Pak Ida Bagus, juga Dayu keluar menemui para wanita yang menunggu dalam cemas.

"Gimana Bagas dan Aya, Pa?" tanya Ibu Jean, menghambur ke pelukan suaminya. Pak Ida Bagus dan Dayu menghampiri Ibu Made. Mereka juga saling berpelukan.

"Aya baik-baik saja, Ma," kata Pak Herman, balas merangkul istrinya. "Tampaknya dia pingsan karena kelelahan dan dehidrasi. Mungkin juga shock atau stres, tekanan darahnya rendah sekali."

Keluarga Ida Bagus saling berbisik-bisik tidak jauh dari tempat Pak Herman berdiri. Dayu terlihat menjelaskan sesuatu, tangannya bergerak-gerak dan airmatanya berderai jatuh membasahi bagian depan gaun brokat yang dikenakannya.

"Bagas?" tanya Ibu Jean.

"Bagas baik-baik saja, hanya luka luar. Hasil rontgen-nya bagus."

"Di mana mereka?" Ibu Jean melongok ke balik punggung Pak Herman, memandangi pintu IGD, berharap kedua anaknya keluar dengan selamat, tanpa kurang sesuatu apapun.

"Anaya masih tidur sambil diinfus. Biar dia tidur dulu, satu atau dua jam. Bagas masih di dalam, katanya ingin menunggui sampai Aya bangun." Pak Herman mengelus-elus lengan Ibu Jean.

"Aya memang nggak tidur semalaman, dia sibuk menangis. Mama boleh masuk, nggak?" Wajah anggun wanita itu tampak cemas.

Belum sempat Ibu Jean beranjak, pak Ida Bagus berjalan menghampiri Pak Herman. Sementara Ibu Made membimbing Dayu untuk duduk di kursi ruang tunggu, tidak jauh dari situ.

"Ehem, Man. Sori nih, Man," panggil Pak Ida Bagus. Mereka dulu teman sekolah, jadi saling memanggil nama dengan akrab. "Sepertinya pertunangan ini harus kita batalkan."

"Lho? Kenapa?" Mata Pak Herman membesar. Pandangannya beralih dari Pak Ida Bagus, ke Ibu Made, lalu ke Dayu, dan kembali lagi ke Pak Ida Bagus.

"Menurut Dayu, ada perempuan lain yang lebih Bagas cintai," jawab Pak Ida Bagus, menggaruk alis kirinya.

Ingin Kumiliki Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang