1. I would if I could

669 37 21
                                    

"An, aku pengin putus," kata Erik setelah menyeruput es teh tawar di hadapannya, "aku lelah."

"Lelah kenapa? Kita kan pacaran, bukan lomba marathon," jawab Anaya dingin, tertunduk memperhatikan salad buah pesanannya. Erik menghela napas.

"Ternyata, aku nggak bisa memenuhi harapanmu, selalu saja aku melakukan kesalahan," sahut Erik memainkan sedotan dalam gelas es tehnya.

"Kalau salah, minta maaf dong, kayak Mas Bagas. Kalau dia merasa salah, dia akan..."

"Stop!" potong Erik. "Ini yang selalu terjadi dalam hubungan kita. Kamu selalu membandingkan aku dengan Mas Bagas. Selama enam bulan pacaran, di setiap pertemuan kita, belum pernah satu kali pun kamu tidak menyebut nama itu." Erik mencubit pangkal hidungnya sambil memejamkan mata sesaat. Dia pening menghadapi Anaya.

"Kapan? Kapan aku selalu nyebutin nama Mas Bagas?" Warna merah di wajah Anaya menjalar hingga ke daun telinga, cuping hidungnya kembang kempis, napasnya mulai tak beraturan.

"Setiap kencan kamu selalu memilih tempat yang disukai Mas Bagas, menonton film yang digemari Mas Bagas, memesankan makanan buatku layaknya aku ini Mas Bagas. Kamu tahu nggak, aku ini bukan penggemar seafood? Tapi kamu selalu maksa untuk mampir di warung seafood karena itu warung langganan kalian. Sadar An, aku ini bukan Mas Bagas," jelas Erik.

"Aku tahu kamu bukan Mas Bagas, makanya aku pacaran sama kamu dan bukan sama dia," sahut Anaya mengerucutkan bibirnya. Erik kembali menghela napas saat pandangan mereka bertemu.

"Kamu ingat nggak, waktu aku nggak mau nyetir mobil pink kamu? Kamu bilang, Mas Bagas nggak pernah protes. Waktu aku ada audisi di Sanggar Budaya dan nggak sempat jemput, kamu marah dan bilang Mas Bagas aja yang mahasiswa P3D selalu sempat kalau kamu minta jemput. Aku kan pacar kamu, bukan sopir." [P3D: Program Pendidikan Profesi Dokter]

"Mas Bagas juga bukan sopir, tapi dia selalu ada buat aku."

"Tuh kan, lagi-lagi Mas Bagas. Ke mana dia akhir-akhir ini? Menghilang gitu aja," ejek Erik sambil mencibir.

"Mas Bagas nggak menghilang. Dia internship di Madura, dia udah jadi dokter, aku kan pernah cerita. Kamu pacar macam apa, nggak perhatian, selalu lupa kalau aku cerita."

"Oh, jadi rupanya kamu pacaran sama aku karena Mas Bagas-mu itu lagi di Madura? Supaya kamu ada sopir buat antar sana-sini, supaya malam Minggu kamu nggak kesepian? Supaya ada yang traktir makan, nonton, dan..."

"Kok omonganmu jadi ngelantur gitu?" Anaya menarik napas, berusaha menahan diri agar tidak melemparkan piring salad buah ke wajah tampan Erik. "Mas Bagas selalu..."

"Cukup," potong Erik. Telapak tangannya terangkat di depan wajah Anaya, "bahkan di saat mau putus seperti ini, kamu masih terus menyebut-nyebut nama itu. Aku sempat berpikir untuk memberimu waktu, tapi sudah enam bulan kamu belum berubah. Sedikit-sedikit Mas Bagas. Mas Bagas inilah, Mas Bagas itulah."

"Mau gimana lagi? Aku udah kenal dia sejak lahir!" tukas Anaya, kesal. Suaranya sampai meninggi satu oktaf.

"Kalau memang Mas Bagas-mu itu sungguh hebat, kenapa kamu nggak pacaran aja sama dia?" Erik berdiri dan meninggalkan Anaya sendirian di kantin kampus yang mulai ramai karena sudah waktunya makan siang.

Anaya terisak. Bukan, bukan karena baru putus dengan Erik. Tapi karena meratapi nasibnya yang malang, bagaimana dia bisa berpacaran dengan Bagas? Bagas sudah punya calon tunangan. Seorang perempuan cantik nan ayu, dokter muda yang kemarin internship bareng di Madura, bangsawan dari pulau dewata, Ida Ayu Witri Rengganis.

Mana mungkin Anaya bisa merebut hati Bagas Aria Wicaksana dari perempuan itu? Kalaupun tidak ada Kak Dayu, begitu nama panggilan bidadari itu, tetap saja Bagas tidak akan memilih Anaya sebagai istri. Lha wong, Bagas itu anaknya Pak Herman dan Ibu Jean, orangtua Anaya juga.

***07082019***

Ola, Readers Kesayangan...
Dalam rangka memperingati HUT RI ke-74, Dött mau share cerita pendek. Mungkin ceritanya nggak ada hubungannya ama perjuangan kemerdekaan atau hidup berkebangsaan, tapi semoga bisa mengisi waktu luang barangkali saat nunggu KRL atau MRT atau OjOl atau sejenisnya, karena dijamin baca ini ampe selesai nggak bakal pake lama.

MERDEKA!

Much Love,
Dött

Ingin Kumiliki Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang