Part IV

13 0 0
                                    

Langit siang yang tadinya berwarna cerah kini berubah menjadi jingga kemerah-merahan, menunjukkan bahwa senja telah tiba dan burung-burung sudah kembali ke sarangnya. Aku sendiri sedang menyusuri jalanan berpasir menuju rumah kerabatku, kembali pulang sama seperti Maria. Kami berpisah lima belas menit yang lalu setelah puas bermain seharian di tepi pantai. Namun, di tengah perjalanan, kutemukan seorang pria aneh yang berjalan mondar-mandir. Ia tampak semakin mencurigakan dengan berewoknya yang tebal. Setelah mengintainya selama beberapa saat, kutemukan ia berjalan perlahan menuju sebatang pohon kelapa yang sudah hangus tak berbentuk karena serangan bom.

Di bawah pohon kelapa tersebut ia jongkok dan terdiam cukup lama. Saking lamanya, aku sampai gusar dan buru-buru menegurnya dari belakang.

"Anda siapa?" tanyaku dengan suara lantang.

Ia tersentak. Sepertinya terkejut.

"Anda siapa?" tanyaku ulang. "Sepertinya saya tidak pernah melihat wajah Anda. Anda bukan penduduk sini?"

Matanya berwarna cokelat gelap, begitu sayu dan terlihat lelah. Pundaknya juga terlihat turun dan kulitnya berwarna coklat, tidak seperti kami yang kebanyakan berkulit putih.

"Ah, saya..." jawabnya terbata-bata. "Di sini... belum lama terjadi perang, ya? Saya juga sempat mengalaminya berpuluh-puluh tahun yang lalu. Ah, saya dari kota sebelah. Saya hanya ingin mengunjungi makam seorang yang saya kenal. Saya baru tahu dia dimakamkan di sini. Tidak bolehkah?"

Aku terdiam mengiyakan.

"Mmm... kalau begitu saya permisi. Selamat sore."

Laki-laki aneh, pikirku. Ia meninggalkan gundukan tanah yang berada di depannya dengan tergesa-gesa. Setelah bayangan punggungnya menghilang tersapu warna senja, aku mendekati makam yang dimaksud.

Makam itu begitu sederhana. Terkesan tak terawat, malah. Nisannya juga tidak terbuat dari batu dan sudah tertutup lumut di mana-mana. Benar-benar seadanya. Aku sedikit menggerutu. Lelaki itu, bukannya sekalian membersihkan makamnya, malah pergi begitu saja. Tak lama kemudian, mataku menangkap sebuah botol bekas yang permukaan kacanya sudah tak karuan. Di dalamnya terdapat gulungan kertas, tapi aku lebih tertarik pada secarik kertas yang tertempel di bagian bawahnya: Aku juga merindukanmu.

Aku yakin kertas ini ditulis oleh lelaki kikuk tadi. Karena penasaran siapa nama orang yang dirindukannya, kuusap-usap lumut yang menempel pada nisan kayu tersebut agar ukiran nama yang terbaring di atasnya dapat terbaca dengan jelas:

MARIA-JANE STACY

Lahir: 12 September 1903

Wafat: 19 Oktober 1914

Lautan Larung BiruWhere stories live. Discover now