Part II

6 0 0
                                    

Aku terkejut.

Lamunanku mengenai peristiwa empat bulan silam mendadak terhenti karena kakiku menginjak pecahan botol. Tak perlu menunggu lama sampai akhirnya pasir berwarna coklat keemasan yang kuinjak berubah menjadi warna merah darah. Lukanya tidak begitu lebar, tetapi darah yang mengalir deras sekali. Ingin sekali aku melihat lebih dekat namun anginnya terlalu kencang, membuat rambut pirang panjangku berlarian menutupi wajahku. Aku kesal. Topi yang sebelumnya kukenakan pun ikut melesat jauh terbawa angin sialan itu.

Setelah terdiam beberapa saat, aku jatuh terduduk. Mataku bergantian menatap darah yang mengalir dan laut yang begitu biru. Tiba-tiba aku ingin menangis. Bagaimana bisa lautnya seindah ini sementara aku sendiri teronggok layu di antara butiran pasir bersama runtuhan sisa perang? Ini tidak adil. Kenapa aku harus mengalaminya? Dan kenapa anggota keluargaku harus menjadi salah satu dari sekian banyaknya korban keganasan perang?

Kutatap kembali darah yang membasahi telapak kakiku. Pekat. Warnanya sangat pekat. Tapi tidak sepekat darah yang membungkus tubuhku dan tubuh Ayah malam itu. Keparat benar mereka, tiba-tiba memasuki rumahku dan langsung menembak kepala Ayahku saat ia sedang memelukku yang menangis karena kekasihku menyukai perempuan lain. Saat itu aku selamat dari pandangan mereka karena tubuhku tertindih Ayah. Mereka kira peluru itu ikut menembus tubuhku. Tak lama setelahnya, mereka keluar dari kamarku sambil melontarkan teriakan kasar, entah dalam bahasa apa. Aku dengar derap langkah mereka mulai menjauh, diiringi jerit tangis Ibu dan kedua adikku. Sepertinya orang-orang biadab itu membawa serta seluruh anggota keluargaku, kecuali aku dan ayahku–yang sudah tergolek lemah di atas pembaringan.

Pelan-pelan kusingkirkan tubuh ayahku yang berumur empat puluh lima tahun tersebut. Bahkan, di sela-sela usahaku menyingkirkan tubuhnya, wangi rambutnya yang khas masih bisa tercium, mengalahkan anyirnya darah. Setelah itu aku terduduk di sebelah jasad ayahku sendiri, tak tahu harus berbuat apa. Aku terlalu takut untuk keluar, tapi juga terlalu tercabik-cabik melihat kondisi kematian Ayah yang begitu mengenaskan. Aku hanya bisa menangis sambil mengelus-elus pipi dan tangannya selagi masih hangat. Kemudian, aku terisak dalam sandaran dadanya yang tidak lagi menghentakkan suara detak jantung seperti biasanya. Ayahku pergi dengan cara yang keji. Laki-laki asing itu menjungkirbalikkan alasan tangisku hanya dalam waktu sedetik. Setelah tubuh ayahku mendingin, aku perbaiki posisinya perlahan. Kutidurkan ia dengan posisi yang seharusnya, lalu kubersihkan darah yang menutupi wajah tampannya. Terakhir, kuletakkan sehelai sapu tangan untuk menutupi seluruh permukaan wajahnya. Kutinggalkan ia dengan langkah gontai. Keluar rumah, aku berlari menembus kegelapan malam, menerjang segala kemungkinan untuk menemukan Ibu dan kedua adikku sambil terus berbisik, "Maafkan aku, Ayah."

Lautan Larung BiruWhere stories live. Discover now