Part III

8 0 0
                                    

"Sakit?"

Bahuku tersentak. Ada segenggam tangan mungil yang menepuk bahu kananku dengan halus. Mataku berpaling dan menemukan seorang gadis cilik berambut keriting kemerah-merahan sedang menatapku iba. Kulitnya berwarna putih pucat seperti lilin dan matanya biru jernih, layaknya batu safir yang melayang-layang di kedalaman lautan–biru dalam biru. Namun, cantiknya akan lebih sempurna lagi manakala tak kutemui bintik-bintik coklat di sekitar wajahnya.

"Pasti sakit," ujarnya tanpa menghiraukan pandanganku. "Kalau berdarah pasti sakit."

Ternyata ia memerhatikan cairah merah yang masih mengalir dari telapak kaki kananku.

Gerakan tangan anak itu sangat cepat. Sehingga tanpa kusadari ia sudah melingkarkan seutas kain di kakiku dan mengikatnya dengan kencang. Kain biru kelabu yang cantik itu lama-kelamaan bercampur warna dengan rembesan darah.

"Darimana kau dapat kain itu?" tanyaku memulai percakapan.

"Dari rokku," jawabnya sambil menunjukkan bagian bawah pakaiannya yang sudah sobek. "Tidak lihat?"

"Kenapa kau lakukan itu? Bajumu bagus, jadi..."

"Jadi aku harus diam melihat kakimu berdarah?" potongnya.

Aku terdiam.

Melalui ekor mataku, aku melihatnya menunduk. Kakinya dilipat hingga menyentuh pipi tembamnya. Jemarinya sedang asyik menuliskan sesuatu di atas pasir.

"Apa yang kau tulis?"

"Ali," jawabnya singkat.

"Ali?"

"Kekasihku."

Aku langsung menutup mulutku untuk menahan tawa. Gadis sekecil ini! Bagaimana bisa... astaga! Apakah anak-anak zaman sekarang terlalu cepat dewasa?

"Aku bukan anak-anak, tahu," ucapnya dengan wajah cemberut dan tatapan tajam, seolah-olah ia mengetahui apa yang aku pikirkan.

"Ehm," kataku berdehem sambil mengisyaratkan maaf. "Kalau begitu... berapa usia kekasihmu?"

"Hmm... lima belas tahun. Usia kami hanya terpaut empat tahun."

Lima belas tahun! Percintaan anak muda! Tapi kurasa ia tetap saja masih terlalu kecil untuk menjadi pasangannya.

"Berarti usiamu..."

"Sebelas tahun. Dan orang-orang menyangka aku masih berusia enam tahun karena tubuhku yang mungil," potongnya lagi.

Aku kembali terdiam.

"Aku benar, kan?" ujarnya lagi, kali ini sambil tersenyum manis. "Tidak apa. Aku sudah terbiasa mendengar tanggapan orang."

Setelah membuatku tak berkutik, ia bangkit sembari menepuk-nepuk pakaiannya yang dipenuhi pasir di berbagai sisi. Pakaiannya penuh dengan renda-renda, yang menurutku berlebihan tapi tetap manis karena pemakainya secantik anak itu. Aku masih terus memandanginya ketika ia mulai mengulurkan tangannya, "Ayo, berdiri."

Aku menyambut uluran tangannya tanpa pikir panjang. Barulah saat itu kurasai telapak tangannya begitu kasar, seperti tangan seorang pekerja kasar. Ternyata telapaknya penuh dengan bekas luka, begitu pun kakinya. Bibirnya juga terlihat pucat dan terkelupas di mana-mana. Meskipun cantik, baru kusadari ia nampak tak terawat. Heran, di mana orang tuanya?

"Aku Maria," katanya sambil tetap menjabat tanganku. "Maria-Jane Stacy. Jane diambil dari nama ibuku."

"Bagus sekali namamu," pujiku tulus. "Namaku Lance. Wilbur Olivia Lance."

"Nama depanmu Wilbur? Seperti anak lelaki–eh, kau pasti sangat pemberani!" teriaknya dengan mata berbinar-binar. Benar-benar biru.

"Tidak juga," jawabku setengah berbisik. "Aku berkali-kali berharap supaya aku cepat mati."

Lautan Larung BiruWhere stories live. Discover now