P6

26K 3.3K 164
                                    

Lanang Tera is back. Yang kangen mereka merapat, dan jangan lupa voment dibanyakin wkwk

💞💞💞

Kening Tera mengernyit disertai lekukan kedua alisnya yang hampir bertemu, saat teman seprofesinya mendudukkan diri dengan keras di kursi di sisi Tera. Wajah Niar-panggian akrab Daniar-terlihat sangat kesal, atau mungkin lebih tepatnya marah. Ibu satu anak itu memukul-mukul pegangan kursi berkali-kali dengan mengomel.

"Apa, sih, pagi-pagi udah ngomel aja. Nggak dapet jatah dari Hendra?" tanya Tera yang kini menghadap Niar.Memeperhatikan mimik Niar yang seolah ingin makan orang alias mode senggol bacok.

Niar menoleh Tera dengan mata menyipit sengit. "Sembarang kalo ngomong! Saking rajinnya sampai aku kebobolan tahu!" Niar mengembuskan napas kuat kemudian mengusap wajahnya pelan. "Gila, ya, Haidar masih 1,5 tahun. Aku maunya nunggulah sampai tuh bocah umur tiga atau empat tahun gitu, eh, kebobolan." Niar menepuk keningnya sendiri. 

Tebersit rasa iri dalam hati Tera mendengarnya kebahagian Niar, ia pun ingin memiliki bayi mungil penghapus lelah dan pemberi tawa, tetapi Tera sangsi akan terwujud, sebab Lanang sudah mewanti-wantinya agar tak ada anak dalam keluarga mereka sebelum Lanang siap. "Reaksi Hendra gimana?"

"Hendra senenglah. Dia kan ngebet banget pengin Haidar punya adik."

"Ya udah, sih, orang Hendra nggak keberatan juga, rezeki tahu," sahut Tera. 

Niar terdiam kemudian menghela napas. "Aku tuh kasihan sama Haidar, dia masih terlalu kecil." Wanita dengan potongan rambut asymmetric itu kembali menlihat Tera dengan ekspresi ingin tahu. "Te, boleh nanya, kan?"

Dengan kening mengerut, Tera mengangguk. "Tumben, sih, pake nanya. Biasanya juga langsung bilang," cibir Tera.

Niar nyengir seolah lupa dengan kekesalan hatinya. "Sensitf soalnya," sanggah Niar. "Kalian nunda punya momongan?" tanya Niar ragu-ragu. Meskipun mereka cukup dekat, tetapi hal seperti ini merupakan ranah pribadi, dan Niar tak akan memasukinya tanpa seizin Tera.

Kini berganti Tera berwajah murung dan mengembuskan napas kuat-kuat menghalau rasa tak nyaman dalam dada. "Nggak, tapi ... Lanang belum siap punya anak," ungkap Tera jujur. Sekian bulan Tera pendam sendiri kemelut hatinya,dan ia butuh teman untuk bercerita. "Tapi nggak bisa nyalahin dia juga, Lanang udah bilang dari awal waktu dia ngajak nikah. Aku kira gampang menjalaninya, ternyata ... sulit." 

"Kamu ... alasan dia apa?" 

kepala dengan rambut sanggul twist itu bergoyang beberapa kali. "Aku udah tanya, tapi dia nggak jawab."

"Kamu nggak coba bujuk dia? Bapak sama Ibu nggak tanya, kenapa kamu belum hamil? Biasanya mereka suka tanya kayak aku dulu."

"Ibu tanya, kubilang belum rezekinya." Helaan Tera terdengar pilu. "Selama kenal dia, Lanang kalo sudah mutusin susah dibujuk. Jadi, ya ... aku udah nggak berharap lagi," ucapnya putus asa.

Niar pun hanya bisa memandang iba. Ia meraih tubuh Tera kemudian ia peluk erat untuk memberi kawannya itu semangat. "Kamu harus kuat dan yakin, Tuhan pasti bisa buka hati suamimu dengan caranya." 

*****

Sudah hampir seminggu ini Tera merasakan hal yang aneh terhadap tubuhnya, cepat lelah dan ingin selalu tidur, suasana hati yang memburuk, bahkan Lanang saja sampai heran dengan kelakuannya. Tetapi Tera tak ambil pusing dengan keheranan Lanang, sebab hal ini biasa Tera rasakan menjelang tamu bulannya datang. 

Tetapi ketidakacuhan Tera harus disadarkan saat haidnya mundur dari jadwalnya. Mungkin lelah, batin Tera. Namun lagi-lagi Tera harus kembali disadarkan, ketika perutnya tak mampung menampung makanan yang ia telan dan memuntahkan di wastafel kamar mandi mereka. Tak hanya itu, Tera mual mencium wangi parfum yang Lanang pakai setiap harinya, padahal itu merupakan wangi kesukaan Tera. 

Alarm bahaya dalam otak Tera seketika menyala dan berbunyi nyaring nyaris membuatnya pingsan. Tidak mungkin, ucapnya dalam hati sembari menggeleng tak percaya. Tetapi penyangkalan Tera hanyalah kamuflase untuk menenangkan hati dan pikirannya yang kalut, karena jauh di dasar hatinya, Tera seolah tahu ada sebuah kehidupan baru bersemayam di tubuhnya.

Pagi ini Tera mati-matian berjuang melawan mual yang mendera ketika Lanang memeluknya sebelum mereka pergi ke kantor. Percintaan mereka semalam rupanya tak mampu meredam gairah Lanang yang mulai merambat naik, terbukti, bukit gairah pria itu mengeras saat menyentuh tubuh Tera.

"Mas," bisik Tera sendu. 

"Sebentar saja sampai dia tertidur."

Tera mendesah lega, tapi satu hal yang meresahkan dirinya, gejolak dalam perutnya. Semoga saja ia mampu menahannya, mohon dalam hati. Terjawab. Lanang melepasnya, menjauh untuk mengambil tas kerjanya. 

"Ayo."

Tera segera meraih minyak kayu putih di meja rias, menghirupnya dalam-dalam untukmengusir mual yang ia rasa. Sesudahnya ia menarik tas  dan mencangklongkan talinya di bahu, dan segera menyusul Lanang ke depan.

Sepanjang hari ini Tera benar-benar diuji, bukan hanya karena perubahan di tubuhnya, emosinya pun diuji kala melayani customer yang menyebalkan. Tera melirik jam di ponselnya di meja, pukul tiga sore, cepat-cepat Tera meraih ponselnya setelah customer terakhir meninggalkan kursi di depan Tera. 

"Mas, nggak usah jemput. Aku mau jenguk temen habis lahiran bareng Niar," ucapnya begitu Lanang menjawab panggilannya.

"Hati-hati. Telepon kalo mau pulang, aku  jemput."

"Iya. Udah, ya, Mas, aku tutup dulu."

*****

Terduduk dengan badan letih di kursi tunggu depan poliklinik rumah sakit swasta tak jauh dari kantornya, Tera terperangah sembari memandang kertas kecil mengkilap dalam tangannya dengan perasaan campur aduk. Takjub, bahagia, tak percaya, sekaligus takut, sebab dalam perutnya tengah bersemayam nyaman buah hatinya yang berusia dua bulan lebih. Ini sungguh diluar dugaan Tera, asa yang telah pupus kini tumbuh menyemai kebahagian Tera.  Ia pun teringat penjelasan Dokter Lora barusan.

"Bagaimana bisa, Dok, saya hamil sepuluh minggu? Sedangkan bulan kemarin saya masih haid, tapi memang hanya tiga hari, dan saya tidak lupa minum pil KB," kata Tera tak percaya mendengar Dokter Lora mengatakan dirinya tengah hamil sepuluh minggu.

Dokter cantik berhijab hijau lumut tersebut tersenyum mendengar ketidakpercayaan Tera akan diagnosisinya. "Nyatanya hasil dari periksaan begitu, Bu."

"Tapi bagaimana bisa, Dok?" Tera  masih mendebat argumen Dokter Lora.

"Begini, Bu, pil KB hanya alat pencegah saja, meskipun resiko hamil rendah selama mengikuti anjuran minumnya, tetapi efektivitasnya akan menurun jika telat minumnya, sehingga bisa terjadi kehamilan. Begitupula dengan kehamilan yang terjadi setelah berhubungan badan setelah haid bersih, kemungkinannya juga kecil, tapi tidak menutup peluang terjadinya kehamilan. Pada dasarnya sperma itu tahan sampai lima hari, dan setelah sel telur siap dibuahi, maka kehamilan bisa saja terjadi," terang Dokter Lora secara singkat. 

Lamunan bahagia Tera harus hancur tatkala ponselnya berdering dan tertulis nama suaminya. Astaga! Bagaimana ia bisa lupa tentang Lanang? Tera pun mengerang dalam hati, membayangkan reaksi Lanang akan kehamilannya.

"Ya Tuhan."

💞💞💞

Partner Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang