1

29.8K 1.4K 24
                                    

"Aku sudah mengizinkan Ibu menikah, seharusnya Ibu senang. Bukan malah mencercaku dengan masalah yang Ibu buat."

"Masalah apa? Ayah-mu yang meminta Ibu melakukan wasiat terakhirnya. Ibu salah apa di sini, nduk?"

Wanita itu Kirana, hidup sebatang kara tanpa melibatkan orang tua tunggalnya yang sudah menikah dua bulan yang lalu.

Kerasnya kehidupan kota, sudah ia rasakan. Hanya tamatan SMA yang mencari peruntungan di ibu kota.

"Mas-mu sudah Ibu hubungi, untuk sementara tinggallah dengannya. Hitung-hitung kalian saling mengenal." wanita paruh baya itu masih berbicara, mengabaikan raut kesal putri keduanya.

"Lihat mbak-mu, sekarang dia bahagia. Kamu nggak mau seperti itu?"

Kirana menggeleng, kepalanya terasa penuh.

"Ibu nggak usah capek-capek ke sini kalau hanya ingin menyuruhku hal yang sama sekali tidak ingin kulakukan."

Winda, sang ibu menghela nafas berat. Putrinya yang satu ini keras kepala. Berbeda dengan Diana, sang kakak.

"Lagian, dari mana Ibu tahu, mbak Diana bahagia? Kapan Ibu bertemu dengannya?"

"Seminggu sekali mbak-mu itu menelepon Ibu. Yang pakai video itu, pakai hp bapakmu. Kelihatan dari wajahnya yang berseri, kadang suaminya ikut ngobrol."

Kirana tidak merespon, Diana sang kakak yang kini dibawa suaminya ke Makassar. Satu-satunya saudara kandung yang sama sekali tidak dekat dengannya.

"Sebentar lagi bapakmu pulang, kamu bersiap ya. Kita ke Semarang."

Kirana bangun, menolak kasar bangku yang didudukinya.

"Ibu saja yang pulang!"

"Ki!!"

Kirana masuk ke kamar, membanting pintu kamar yang sudah reyot.

Ketukan kembali terdengar, dibalik pintu kamarnya, Winda memanggil seraya menggedor.

"Ini demi kamu Ki, ayahmu pasti sedih melihat keadaanmu."

Kirana bergeming, telinganya baru saja terpasang earphone yang mengalunkan lirik 'kemarin' dari seventeen melalui ponsel android yang sudah retak layar depannya.

Sayup, hingga bait terakhir itu menutup matanya. Mengeluarkan cairan bening bersamaan luka yang terbang entah ke mana dibawa angin.

Dalam mimpinya, ia bertemu banyak orang. Papanya yang meninggal ketika ia mengambil ijazah SMA, Andrian Hafidz sang sahabat yang memendam cinta kepadanya meninggal karena kecelakaan, terakhir Wisnu. Lelaki yang mengkhianatinya, pergi dengan wanita lain dan mati bersama dalam sebuah insiden kapal tenggelam di Selat Sunda.

Nafasnya terengah. Mimpi itu terasa nyata. Ayahnya, Adrian dan Wisnu melambaikan tangan, seolah ingin menyapanya.

Mimpi yang sama, ketika ia frustrasi. Ketiganya seolah tidak bosan bergelayut pada alam bawah sadarnya.

Kirana merasa Ibunya sudah pergi. Perlahan ia bangkit dari ranjang lusuh membuka pintu kamarnya.

Salah.

Ibunya masih berada di ruang tamu berlantaikan tanah. Tidak sendiri, ada bapak tirinya di sana.

Mereka sedang berbicara serius. Gurat sedih, lelah dan kecewa menyatu pada garis wajah ibunya.

"Kemarilah Ki." pria yang berumur beberapa tahun di atas ibunya itu memanggil Kirana.

Kirana bersedekap, ia tidak mendekat. Cukup berdiri, bersandar pada dinding kayu, penopang bangunan rumah peninggalan neneknya.

LARA KIRANA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang