Pertemuan Masa Lalu (2)

500 63 1
                                    

Tok ... tok ... tok ....

Terdengar suara ketukan pintu dari luar. Seorang laki-laki yang ada di dalamnya lantas mengangkat pandangannya yang sedari tadi menatap layar laptop.

"Masuk," ucapnya pada si pengetuk pintu. Memberi izin agar orang tersebut segera menjelaskan maksud kedatangannya.

Seseorang itu pun kini menampakkan wujudnya. "Tuan Jinwoo, Tuan Kim Young Kwang ingin berbicara dengan Anda."

Jinwoo tertegun sejenak mendengar kabar tersebut. "Di ... di mana Paman Young Kwang sekarang?" Jinwoo berucap sambil melangkah mendekati pintu.

"Aku di sini."

"Paman! Masuklah!"

Kim Young Kwang segera masuk ke ruangan tersebut. Dengan sopan Jinwoo mempersilakan ia duduk di sofa dekat meja kerjanya.

Setelah duduk, keheningan melanda sejenak. Dengan hati-hati, Jinwoo segera menanyakan maksud kedatangan pamannya, alias ayah kandung MJ. "Ada apa, Paman?"

Kim Young Kwang menyambut pertanyaan Jinwoo dengan senyuman. "Hanya mampir sebentar ... bagaimana kabarmu?"

"A-aku ... baik-baik saja. Bagaimana dengan Paman? Dan juga ... Myung Jun-hyeong?"

Kim Young Kwang mengangkat sebelah alisnya ketika mendengar kata 'Myung Jun'. "Myungjunie? Aku dan dia baik-baik saja. Terakhir kali dia agak bandel."

Jinwoo hanya diam. Dia mengulum senyumnya dan menundukkan pandangannya ke bawah.

"Sebenarnya ... aku agak kaget tiba-tiba kau memilih berkecimpung di dunia perkantoran seperti ini. Bukankah ... dulu kau juga bersikeras untuk menjadi idol?"

"I-itu ...."

"Jangan sungkan. Kau bisa curhat dengan Pamanmu ini," bujuk Kim Young Kwang sambil menepuk-nepuk dadanya untuk meyakinkan keponakannya.

"Sebenarnya ... aku sangat menyesal melepas mimpiku menjadi idol. Aku juga merasa bersalah terutama pada Myung Jun-hyeong, Dongmin, Bin, Minhyuk, dan juga Sanha. Tapi ... aku terpaksa. Aku tak punya pilihan lain. Aku berharap mereka tetap berjuang mewujudkan impian itu meskipun tanpa ada aku di sana."

Kim Young Kwang lagi-lagi hanya tersenyum miring mendengarnya. Dia bangkit dari duduknya, lalu berjalan membelakangi Jinwoo yang masih terduduk, sambil melihat-lihat sesuatu yang nampak di hadapannya.

"Pasti karena Haejin. Hhhhh ... dia memang terlalu keras mendidik putranya." Setelah menghela napas beratnya, Young Kwang tiba-tiba membalikkan badannya, membuat Jinwoo yang mengekor agak jauh di belakangnya sedikit terkejut. "Ingin kuceritakan sebuah rahasia besar?"

"Ra-rahasia besar? Apa?"

"Tapi ingat, setelah mendengarnya jangan beritahu Myungjunie. Dia hanya boleh tahu setelah dia menikah dengan Sera dan memberiku cucu."

"Mwo?!"

***

"Gimana? Kalian ingat gak? Waktu itu kalian, kan saling ngatain pake dua bahasa. Nabila pake Bahasa Indonesia, terus Sanha pake Bahasa Korea."

Mendengar kalimat demi kalimat yang diucapkan Ningsih ... Sanha dan Nabila saling bertatapan canggung. Setelahnya mereka menunduk kembali. Tak menyangka bahwa ada kenangan seperti itu di antara mereka.

"Sebenarnya kamu dulu ngatain Sanha apa, sih? Ibu lupa."

"Si sipit, si b*go, dan ... si rambut mangkuk."

"HAHAHAHAHA." Ningsih tertawa keras mendengarnya. Sedangkan Jinhyuk hanya tersenyum geli menahan tawanya.

"Sanha, bukankah rambut mangkuk itu yang menyebabkan kamu malu pergi sekolah hingga mengikuti Appa sampai ke Indonesia?" Untuk menjaga etika, Jinhyuk dan juga Sanha memilih untuk berbahasa Indonesia.

"Iya. Myung Jun-hyeong yang membuat rambutku seperti itu. Dia bilang dia akan mengubahnya seperti rambut artis terkenal. Tapi ... kenyataannya dia hanya menempelkan mangkuk di kepalaku sebagai cetakannya. Dan potongan rambutku jadi jelek."

"BHAHAHAHAHAHAHA!" Seisi ruangan itu tertawa sangat keras, terkecuali Sanha.

"Baiklah. Supaya kalian tidak salah paham, aku akan menjelaskan maksud kedatanganku ke sini. Sebenarnya ... Sanha ... Appa ingin menitipkanmu lagi di sini."

"Mwo?!"

"Hah?!"

Sanha dan Nabila serentak terkejut dan terbelalak. Kenapa jadi seperti itu? Apa yang akan terjadi jika kedua orang tua tersebut tahu kalau anak mereka saat ini baru saja meresmikan hubungannya sebagai sepasang kekasih?

"A-a-a-appa ... aku baik-baik saja, tidak perlu dititipkan. Aku sudah besar. Aku ti-tidak mau merepotkan Tante Ningsih."

"Gak papa, Sanha. Tante senang, kok kamu di sini. Sama sekali gak ngerepotin."

"T-t-tapi—"

"Dongmin tidak ada di sini. Dan Appa akan segera kembali ke Korea. Lalu siapa yang menjagamu?"

"A-aku baik-baik saja. Tidak perlu—"

"Sudah dengar, kan? Tidak boleh membantah. Appa mau pergi dulu. Segeralah bereskan barang-barangmu ke sini. Appa sudah mengirimkan beberapa orang untuk membantumu." Yoon Jinhyuk bangkit dari duduknya, lalu memberi hormat pada Ningsih dan juga Nabila untuk berpamitan pergi.

Ningsih pun membalas hormatnya, begitu pula Nabila. Sedangkan Sanha hanya bisa diam melihat kepergian ayahnya. Dia juga hanya bisa patuh pada perintahnya. Tidak ada yang bisa ia lakukan saat ini selain pasrah.

Tiba-tiba Ningsih tertawa kecil. Membuyarkan keheningan setelah kepergian Jinhyuk. "Sanha, sekarang Nabila gak tomboy lagi, kan? Jadi, jangan anggap dia laki-laki lagi, ya. Hihihi."

"I-ibu!"

"Sudah, sudah. Kamu bantuin Sanha aja sana! Dan ingat, jangan saling ngatain lagi kayak dulu. Hihihi." Ningsih pun turut bangkit dari duduknya. Hingga hanya menyisakan Sanha dan Nabila yang kini dilanda kecanggungan.

Mereka berdua pun saling bertatapan. Setelahnya mereka serempak mendengus kesal.

"Sanha, gimana, dong? Kalo mereka tau kita pacaran, pasti kita bakalan malu banget. Hhhh ...."

"Aku juga tidak tahu harus berbuat apa. Aku tidak berani membantah ayahku." Sanha menunduk murung merasa bersalah.

"Sudahlah. Gak papa. Maafin gue dulu, ya karena sering ngatain lo."

Sanha mengangkat pandangannya lagi. Ia sedikit terkejut, lalu tersadar. "Iya. Maafkan aku juga karena membalas dengan mengataimu balik. Aku tidak ingat apa yang kukatakan saat itu. Yang jelas ... aku menganggapmu laki-laki. Aku ... juga minta maaf karena itu."

"Iya, gak papa. Semua itu cuma masa lalu." Nabila tersenyum, dan Sanha pun membalas senyumannya. "Sanha, ayo! Gue bakal bantu lo beresin kepindahan lo ke sini."

Sanha lagi-lagi salah fokus dengan ucapan Nabila. Bukannya senang karena dibantu, dia malah bersedih karena sesuatu.

"Nabila. Bisakah ... kamu tidak menggunakan panggilan lo-gue lagi kepadaku? Aku ... agak sedih mendengarnya. Kita, kan bukan sekedar teman lagi."

"Apa? I-i-tu ...."








To be continued . . .



1 Year With My Cutie Boy || Sanha ✔️Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum