Pertengkaran

573 66 4
                                    

Nabila yang sebelumnya berlari dengan kencang, kini berhenti. Dia terdiam menatap seorang laki-laki dan seorang gadis yang sedang asik duduk di kursi perpustakaan. Namun, mereka tak menyadari kehadiran Nabila.

"Sanha!" panggil Nabila.

Sanha langsung mendongakkan kepalanya. Dia mencari-cari sosok yang tengah memanggilnya. Ketika dia menatap ke belakang, barulah dia mengenali sosok itu.

"Nabila?"

"Lo ... ngapain sama dia?" Nabila kini sudah berada di sebelah Sanha. Dia melirik Yuvi yang juga berada tepat di samping Sanha.

"Lo yang ngapain di sini?! Gak liat apa orang lagi sibuk?!" Yuvi merasa tak terima dengan pertanyaan Nabila.

"Lo diem, deh. Gue gak ngomong sama lo," jawab Nabila cuek.

Mendengar perkataan Nabila, Yuvi—yang terkenal sebagai putri es karena suka mengeluarkan kata-kata dingin—menjadi semakin naik darah. Padahal, lebih cocok kalau dia dikenal sebagai putri api, karena dia juga mudah marah.

"HEH! PERGI LO DARI SINI! JANGAN GANGGU GUE SAMA SANHA!!!" teriak Yuvi tiba-tiba.

Nabila tersentak kaget. Ia tak menyangka kalau Yuvi akan berteriak seperti itu.

"LO GAK USAH NGEGAS, DONG! GUE ADA SALAH APA, SIH SAMA LO?! SAMPAI LO SEGITUNYA?!" Nabila ikut-ikutan berteriak, tak tahan dengan sikap Yuvi.

"LO GAK LIAT APA GUE LAGI BELAJAR?! DASAR CEWEK J****G!!!"

Mendengar kata j****g, Nabila benar-benar merasa kesal. Baru kali ini ada seseorang yang berani mengatakan itu padanya.

"Lo—"

"APA? APA, HAH? LO MAU JAMBAK RAMBUT GUE?! SINI GUE JAMBAK DULUAN RAMBUT LO!!!" Tak disangka, dengan secepat kilat Yuvi menjambak rambut Nabila yang awalnya terurai dengan rapi.

"WOY!!! BR*NGS*K LO! LEPASIN!!!" Nabila berusaha melepaskan jambakan Yuvi.

Sementara itu, Sanha yang sedang menjadi saksi di antara perkelahian itu bingung ingin berbuat apa. Penjaga perpus sedang hilang entah ke mana. Orang-orang mulai ramai mengerumuni mereka.

"Yu-yu-vi ... Na-nabila ... hentikan ..." ucap Sanha tergagap.

Akan tetapi, ucapan Sanha seakan tak terdengar. Yuvi masih belum saja menghentikan jambakannya. Karena merasa kesal, akhirnya Nabila pun ikut menjambak rambut Yuvi. Akhirnya, terjadilah peristiwa jambak-jambakkan.

Karena tempat itu menjadi ramai, seorang guru yang lewat menghampiri lokasi tersebut. Ketika dia melihat apa yang terjadi, betapa terkejutnya ia.

"HEI, KALIAN BERDUA! HENTIKAN!!!"

***

Di sebuah ruangan, duduk Nabila dan Yuvi bersebelahan. Tak jauh dari mereka, ada pula Sanha. Dan di dekat Sanha, duduk seorang guru yang sebelumnya menghentikan pertikaian mereka.

"Kenapa kalian jambak-jambakkan? JAWAB!" bentak guru itu. Sebenarnya beliau adalah guru Matematika, yaitu Pak Beta.

"Yu-yuvi dul—"

"JANGAN SALING MENYALAHKAN! BAPAK TANYA, ATAS HAL APA KALIAN BERKELAHI?!"

"Maaf, Pak. I-itu ... gara-gara saya—"

"DIAM, SANHA! BAPAK TIDAK BERTANYA PADAMU."

Sanha tersentak kaget. Dia refleks menundukkan wajahnya.

"Nabila mengganggu saya belajar, Pak." Yuvi akhirnya bersuara.

"Tidak, Pak. Saya tidak mengganggunya. Saya hanya berbicara dengan Sanha. Tapi, tiba-tiba saja dia marah. Lalu dia menjambak rambut saya," sanggah Nabila.

"LO MAU GUE JAMB—"

"DIAM! Tidak boleh ada yang bertengkar lagi. Sambil menunggu guru BK, Bapak akan menelepon orangtua kalian."

"JANGAN!" teriak Nabila dan Yuvi serentak. Sedangkan Sanha hanya diam tanpa wajah bersalah.

"Sanha, orangtuamu akan Bapak panggil juga."

"APA, PAK?" Sanha langsung berdiri karena terkejut.

"Lho, Sanha kan gak ngapa-ngapain, Pak?" tanya Nabila penasaran. Menurutnya, Sanha tidak ada hubungannya dengan pertengkaran antara dia dan Yuvi.

"Salah siapa dia ganteng. Kan jadi direbutin."

"LAHHH ...."

***

Kring ... kringgg ... kriingggg ....

Telepon rumah itu terus berdering. Si pemilik rumah yang tadinya sedang sibuk dengan mesin jahitnya, dengan langkah cepat menghampiri sumber suara.

"Halo?" Wanita paruh baya itu mengangkat teleponnya.

"..."

"Apa?! Baiklah. Saya akan segera ke sana." Wanita itu dengan cepat meletakkan teleponnya. Dari rautnya, dia sangat marah.

Anak itu ... apa lagi yang dilakukannya? Setelah membunuh ayahnya, dia ingin membunuh orang lain lagi?!

Wanita itu bergegas dengan cepat ke kamarnya. Tak lama kemudian, dia keluar dengan pakaian rapi. Tak lupa juga dia mengunci pintu rumahnya.

Di halaman depan rumahnya, sudah menunggu tukang ojek online yang akan mengantarnya dengan segera.

"Pak, antar saya ke sekolah xxx."

"OK, Bu."

***

Di ruang BK—tempat Sanha, Nabila, dan Yuvi berada—kini menjadi ramai. Ibunya Yuvi dan ayahnya Sanha, Yoon Jinhyuk sudah berada di sana. Hanya tinggal ibunya Nabila yang belum datang.

Tok ... tok ... tok ....

Setelah ketukan pintu, muncullah orang yang mengetuk pintu tersebut. "Permisi ... ?"

Pak Beta dan Bu Naira—selaku guru BK—mendongak menatap orang dibalik pintu.

"Oh, Bu Ningsih. Silahkan duduk, Bu!" Bu Naira mempersilakan wanita paruh baya itu dengan ramah.

Melihat sosok itu, Nabila langsung berdiri dari tempat duduknya. "Ibu ... " ucap Nabila sambil memandangnya.

Wanita itu tak merespon panggilan anaknya. Sebaliknya, dia hanya duduk mengikuti perintah dari Bu Naira.

Akan tetapi, di saat wanita itu menatap ke sampingnya, dia tercengang. Dia mengurungkan niat untuk duduk.

Di-dia ... Yoon Jinhyuk, kan? Kenapa dia ada di sini?

Ketika Ningsih melihat ke arah Yoon Jinhyuk, laki-laki itu juga turut menatapnya. Sama sepertinya, Yoon Jinhyuk pun ikut tercengang.

Wanita itu ... Ningsih?

"Ada apa, Bu Ningsih? Silakan duduk, Bu!" Bu Naira mempersilakan Ningsih duduk untuk kedua kalinya.

"O-oh? Baik, Bu." Ningsih akhirnya duduk. Dia duduk di sebelah ibunya Yuvi, yaitu Mona.

Tak berapa lama, Bu Naira dibantu oleh Pak Beta—sebagai saksi yang menangkap basah pertikaian itu—menjelaskan apa yang terjadi di antara anak-anak mereka. Dengan beberapa perundingan dan kesepakatan, permasalahan itu pun akhirnya bisa selesai dengan damai.

Ketika semua orang tua murid dipersilahkan pulang, Ningsih menghentikan langkah Yoon Jinhyuk.

"Tuan, apa Anda punya waktu sebentar?"






To be continued . . .




1 Year With My Cutie Boy || Sanha ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang