stay with me

30.7K 5.5K 591
                                    

Rena

Mataku terbuka perlahan begitu sinar matahari menerobos tanpa permisi. Hal pertama yang mata beratku tangkap adalah sebuah siluet di depan sana, sedang membelakangiku, memamerkan punggung lebarnya padaku.

"Om, batalin semua jadwalku."

Aku berusaha untuk duduk bersandar kepala ranjang tanpa menimbulkan suara, takut orang di seberang sana terganggu.

"Ada yang harus aku urus. Aku ambil cuti dua hari."

Aku mengerjap. Ini bukan mimpi, kan? Tapi kepalaku berat. Dahiku panas. Danㅡ

"Na?"

Begitu matanya bertemu dengan mataku, aku jadi sadar. Kalau ini, bisa jadi bukan mimpi.

"P-Pak Doyoung?"

●●

"Kamu libur dulu ya."

"Tapi paㅡ"

"Ssst, kamu sakit, Ren. Istirahat di rumah. Lagian Nak Doyoung udah bela-belain cuti loh. Masa yang mau dijagain malah pergi?"

Aku menatap Pak Doyoung yang juga tengah menatapku, padahal tangannya sibuk menggoreng telur. Astaga, kenapa aku jadi salah tingkah?

"Nak Doyoung, Om titip Rena ya."

"Loh papa mau kemana?"

"Om mau kemana?"

Aku dan Pak Doyoung bertatapan sebentar sebelum aku memutus kontak mata kami. Papa tergelak pelan menyaksikan tingkahku dan Pak Doyoung.

"Papa mau ke rumah Om Minho. Istrinya kan ke luar kota, jadi dia gabut gitu di rumah."

"Aku antar ya, paㅡ"

"Sstt, nggak nggak! Kamu ini lagi sakit malah mau nganterin papa."

"Tapi paㅡ"

"Biar Doyoung yang antar, Om."

Pak Doyoung memutus ucapanku. Sambil tertawa, papa langsung menggeleng yakin.

"Kalau kamu pergi, siapa yang jaga Rena?"

"Papa, Rena cuma pusing, bukan lumpuh, patah tulang, atau apalah itu!" kesalku. Habisnya, papa suka lebay masalah beginian.

"Tapi tetap saja, Ren. Kamu kemarin nggak ingat apa kalau Nak Doyoungㅡ"

"Saya panggilkan taksi saja ya, Om."

Lagi, Pak Doyoung memotong ucapan papa. Beda dengan tadi, kali ini papa menyetujui ide Pak Doyoung dengan antusias.

Pak Doyoung kemarin ngapain? Selain kejadian di ruangannya semalam, aku benar-benar nggak ingat apapun.

Astaga, aku reflek menyentuh bibirku. Ishhh, kan jadi ingat lagi!


●●

Suasana super canggung begitu papa pergi dari rumah. Sebenarnya, cuma aku yang merasakan kecanggungan ini. Pak Doyoung masih bersikap biasa. Menyiapkan sarapan tanpa mau dibantu. Lebih tepatnya, dia melarangku melakukan apapun selain duduk di ruang makan.

"Makanlah, lalu istirahat," kata Pak Doyoung sambil duduk di depanku.

Aku menyantap makanannya dalam diam. Badanku rasanya panas, bibirku juga paㅡastaga! Kenapa sih tiap bilang bibir otakku reflek membayangkan ciuman panas Pak Doyoung semalam? Cho Rena mesum!

"Na."

"Pak."

"Bapak dulu."

"Kamu dulu," ujarnya lagi. "Kamu dulu, Na."

Aku mengigit bibir bawahku gusar saat Pak Doyoung menatapku dalam. Astaga, harus mulai dari mana? Semua sangat tiba-tiba. Rasanya...masih seperti mimpi.

"Soal semalam. M-Mungkin bapak mabuk, jadi...jadi saya akan anggap semua nggak pernah terjadi."

Aku berkata sambil menunduk dalam, nggak berani menatap mata Pak Doyoung. Coba katakan, kemana larinya Cho Rena yang super berani? Cho Rena tukang bentak-bentak Pak Doyoung? Cho Rena si mulut tanpa rem?

"S-Sekarang giliran bapak mau ngomong a...pa..."

Suaraku hilang ditelan angin saat Pak Doyoung tiba-tiba saja sudah berdiri di sampingku. Ralat, dia bahkan membungkuk di samping kursiku hingga wajahnya sejajar dengan wajahku.

Dejavu, sialan.

"Apa kamu mencium bau alkohol kemarin?" tanyanya. Aku mengerjap sebelum menggeleng pelan. "Tandanya saya nggak mabuk, Na. Saya sadar."

Aku hanya bisa diam. Nggak, ini masih terasa mimpi. Aku masih belum sepenuhnya percaya.

"B-Bapak sejak kapan suka saya?"

Cho Rena sialan! Ada yang tahu cara menarik segala ucapan yang sudah keluar dari mulut? Ckㅡ

"Saya benci Joy menyakiti kamu. Saya benci kamu mengungkit masalah kontrak sialan itu. Saya benci melihat kamu menangis karena Jeno. Saya benci kamu membenci saya."

Glek. Apa katanya?

"Sama seperti kamu. Saya...juga nggak tahu sejak kapan perasaan ini tumbuh," lanjutnya.

Demi Tuhan, bulu kudukku berdiri hanya dengan mendengar suara beratnya. Apalagi...apalagi sejak kapan wajah kami jadi sedekat ini?

"S-Saya masih belum percaya kalau semalam benar-benar terjadi. Saㅡ"

Dan demi Tuhan, sejak kapan manusia bernama Kim Doyoung ini suka mencium bibir orang tanpa permisi?! Sialnya, mataku hanya bisa terpejam merasakam tiap lumatan bibirnya di bibirku. Merasakan tangannya yang mulai naik ke tengkukku yang tertutup rambut. Kurasa bukan Pak Doyoung yang mabuk. Tapi aku.

"Sudah percaya?" lirihnya begitu lumatan ini berakhir. Aku memejam. Kilasan adegan semalam kembali menari-nari di otakku. Rasanya sama persis, nggak ada yang berubah.

Rasa lumatan Pak Doyoung, tangannya yang sedikit menekan tengkukku, erangan pelan dari bibir tipisnya...Ya, aku mengingatnya dengan jelas. Cho Rena mulai gila!

Aku hanya bisa mengangguk sebagai jawaban.

"Sekarang giliran saya yang bicara, ya? Jadi buka matamu dan tatap saya."

Perlahan kubuka mataku. Wajah Pak Doyoung mulai menjauh, nggak sedekat tadi. Tapi tentu saja, jantungku masih berdetak nggak karuan.

"B-Bapak mau ngomong apa?" tanyaku gugup.

Bukannya gede rasa, masalahnya, gimana kalau dia tiba-tiba lamar aku? Gimana kalau dia tiba-tiba minta hal aneh? Minta...anu mungkin? Aku bukan perempuan polos! Ciuman Pak Doyoung semalam benar-benar...Shit, kenapa aku jadi gerahㅡ

"Berhenti bekerja di perusahaan lalu tinggallah bersama saya. Di rumah saya."

●●

yeee pindahannn~~

Om Doyoung✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang