pemilik hati

32.4K 6.6K 900
                                    

3 bulan tidak update doooong. agak lupa tapi semoga tetep bisa dinikmati wkwkwk



"Pak, tunggu!"

Aku menahannya tepat setelah kami turun dari bus. Begitu tubuh kami saling berhadapan, aku pun menatapnya serius.

"Bapak lewat pintu depan, kan?"

"Hm."

"Kalau gitu saya masuk lewat pintu belakang," ujarku. "Ya, memang harusnya gitu sih. Bapak kan bos, jadi harus lewat pintu depan. Lagian kantin ada di belakang, jadi lebih cepat lewat pintu belakang. Eh, atau nggak?"

Aku berpikir sebentar. Jujur aja, aku hampir nggak pernah lewat pintu belakang perusahaan karena yeah, pintu belakang super jauh! Kalau ada pintu depan, kenapaㅡ

"Apa kamu selalu berpikir serumit ini?"

"Maksud bapak?"

Pak Doyoung berdecak pelan sebelum mencengkeram tanganku agak kuat. "Masuk bersama."

"Hah?!"

"Saya, kamu, masuk bersama," ulangnya dengan nada penuh penekanan. Sontak, aku segera menepis tangannya meski semua terasa sia-sia. Salahkan aku yang nggak punya cukup tenaga untuk melawan bos besar ini.

"Nggak mau!"

"Peduli saya?"

Aku membelalakkan mataku. Berani-beraniㅡAh, sialan! Segala sumpah serapahku lenyap begitu Pak Doyoung menarikku seenak jidat menuju kantor. Aku terus meronta, namun hasilnya nihil. Bukannya terpisah, cengkeraman tangan Pak Doyoung makin menguat. Jadi yeah, tanganku makin linu.

"Pak Doyㅡ"

Dak!

"AW!"

Aku merintih saat tubuh besarnya tiba-tiba berhenti seenak pantat. Jidatku jadi membentur punggung kerasnya dan...Sial, pusing!

"Saya mau melindungi kamu, bukan menyakiti kamu."

"Makanyaㅡ"

"Makanya, jangan meronta. Tanganmu makin sakit, bukan?" potongnya. Aku terdiam. "Lagipula, kenapa kamu sebenci itu datang ke kantor dengan saya?"

"Saya..." Aku menggantungkan ucapanku beberapa detik. Tangannya yang masih setia mencengkeram pergelangan tanganku membuatku berani mengutarakan semuanya. "Kalau kita datang bersama, orang-orang akan membicarakan kita. Saya nggak suka. Saya benci jadi pusat perhatian. Saya takut."

Pak Doyoung menatapku datar namun intens. Terlalu sulit mendeskripsikan tatapan matanya.

"Ada saya."

Kini giliran aku yang mendesah kesal. "Pakㅡ"

"Saya pernah bilang kan kalau kita bisa berhubungan tanpa kontrak sialan itu? Kita bisa mulai hari ini."

Aku membulatkan mata. Bibirku berdecih, dadaku tertohok mendengar kalimat tersebut meluncur mulus dari mulutnya. "Bapak pikir menjalin hubungan segampang itu? Pak, ini bukan main-main!"

"Saya juga nggak main-main."

"Gila."

"Saya serius."

"Lepas."

"Nggak akan."

"Bapak nggak bisa memaksa saya!"

"Kenapa nggak bisa?"

Aku menggeram. Emang dasar ya, apa semua orang kaya semena-mena Kim Doyoung? "Bapak nggak bisa memaksa sebuah hubungan. Apalagi baik saya maupun bapak nggak punya perasaan satu sama lain."

"Siapa bilang?"

"Apa?"

"Kalau baik saya maupun kamu nggak punya perasaan satu sama lain?"

Aku mengernyit. Tolong, bukankah sudah jelas bahwa seorang Cho Rena nggak punya sedikit pun perasaan kepada Bapak Kim Doyoung? Dan aku berani taruhan kalau Kim Doyoung punㅡ

"Saya punya perasaan itu. Ralat. Saya akan berikan hati saya ke kamu. Kamu bebas miliki hati saya."

"Hah?!"

Bukannya menjawab, Pak Doyoung malah mengeratkan cengkeramannya lagi, untuk yang kesekian kalinya. Aku memekik keras

"Mulai detik ini, kamu milik saya. Dan mulai detik ini juga, kamu bebas miliki hati saya."

♥♥♥

bentaaar segini dulu yaa, sedang mencari ide setelah tiga bulan menguburkan diri ahaaaay

btw masi pada inget kan sama work ini? :3

Om Doyoung✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang