maaf

45.9K 8.8K 647
                                    

Pak Doyoung menepati janjinya untuk datang menjemputku. Tepat pukul 11 siang, dia dan Pak Moon tiba di rumah Haruto. Tanpa berganti pakaian kurasa. Bajunya sama dengan yang di TV tadi. Maksudku, konferensi pers tadi.

"Gila om Doyoung badas banget!" seru Haruto sambil mengacungkan jempol.

Pak Doyoung nggak menanggapi keponakannya. Matanya malah menatapku, tetap dengan cara yang sama seperti biasanya. Dingin, nggak bisa didefinisikan.

"Ayo pulang," kata pak Doyoung. Sebelum berlalu meninggalkan rumah, dia terlebih dulu mengambil sesuatu dari dalam saku celananya. Dompet. "Ini buat jajan."

"Waaaa makasih om!"

"Hm. Jangan cerita ke mama papamu dulu. Biar om aja."

"Siap!" seru Haruto sambil memberikan hormat. "Kak Rena, kak Rena!"

"Iya?"

"Minta id lineㅡ"

"Ayo pulang."

Seruan pak Doyoung berhasil memutus percakapan kami. Okeoke, ayo pulang.


Begitu sampai rumah, aku benar-benar bersyukur. Pertama, nggak ada wartawan. Kedua, pak Doyoung memberikanku pastry.

"Tadi lihat di jalan," katanya saat memberikan pastry tersebut. Jangan lupa wajahnya yang super dingin itu. Huhhh.

"Sekarang jelasin ke gue sama papa."

Suara Jeno berhasil membuyarkan lamunanku. Oke, selain dua fakta di atas, keberadaan Jeno di rumah membuatku sedikit bersyukur. Atau sebaliknya?

Makasih Jeno udah nemenin papa semaleman. Tapi...bisa nggak aku makan pastry dulu baru jelasin semuanya?

"Ada apa, nak? Kenapa kamu semalem nggak pulang? Mana banyak orang nunggu di depan pagar. Untung dibubarin sama satpam komplek," sahut papa.

Aku menghela nafas pelan setelah menatap wajah papa dan Jeno bergantian. Dua cowok itu sama-sama menatapku dengan tatapan yang beda. Jeno sedikit tajam dan menuntut, sedangkan papa lebih ke arah khawatir.

"Maaf," menjadi kata pertama yang meluncur di mulutku. Aku menatap mereka bergantian sebelum akhirnya menjelaskan semuanya, dari insiden bersin di depan pak Doyoung sampai pak Doyoung mengantarku pulang beberapa menit yang lalu.

Dan seperti dugaanku, wajah Jeno makin terlihat marah, sedangkan papa mulai mengusap wajahnya frutasi. Oke, aku salah.

"Batalin kontraknya," kata Jeno yang refleks aku balas gelengan.

"Lo mau liat gue masuk penjara? Udah tanda tangan hitam di atas putih, Jen."

"Gue bisa bantu lo, Ren. Bokap gue kan pengacara, dia pastiㅡ"

"Gue nggak mau melibatkan om Donghae," potong gue. Jeno berdecak.

"Batalin aja, nak. Jangan kayak gini cuma karena papa," ujar papa. Aku mewek.

"Gue bisa bantu biayai pengobatan papa, Ren. Sumpah, gue nggak apa-apa."

"Jangan gitu, nak."

Suasana disini makin nggak enak. Keluarga Jeno emang kaya, om Donghae pengacara, tante Yoona punya salon kecantikan. Aku tau, dia nggak bercanda tentang membiayai pengobatan papa. Dan aku juga tau, papa nggak suka merepotkan orang lain.

"Apapun alesannya, batalin Ren. Jangan berurusan sama orang kayak pak Doyoung," kata Jeno lagi. Aku menggeleng pelan.

"Nggak bisa, Jen."

"Hhhh," Jeno mendesah kasar. "Capek gue temenan sama lo. Susah dibilangin."

"Jen.."

Aku merengut. Demi apapun, sakit denger dia ngomong kayak gitu. Dia satu-satunya sahabatku, satu-satunya orang yang mau menerima kekuranganku.

Tapi kalian tau sendiri, memutuskan kontrak itu nggak gampang. Berurusan sama hukum itu susah dan mahal.

"Pa, Jeno pulang dulu," pamit Jeno sambil bangkit dari duduknya. Aku hampir menahan tangan Jeno kalau dia nggak menatapku galak. "Gue kasih waktu sehari buat mikir dan merenung. Semoga lo bisa ambil keputusan yang tepat."

Dan disaat inilah aku melihat sisi lain Jeno. Sisi lain yang nggak pernah ia perlihatkan selama tiga tahun persahabatan kami. Dan demi apapun, tiba-tiba aku jadi takut. Takut akan kehilangan sahabat sebaik dia.


Walau marah besar, nyatanya pagi tadi Jeno masih mau menjemputku. Yeah, sekalipun nggak ada satu kata pun keluar dari mulutnya. Sepanjang perjalanan kami hanya diam. Dia sibuk menyetir motor, sedangkan aku sibuk dengan pikiranku sendiri.

Setelah semalamanㅡditambah perjalanan menuju kantorㅡberpikir, aku jadi sadar. Mungkin Jeno ada benarnya. Nggak seharusnya aku menerima tawaran pak Doyoung. Nggak seharusnya aku berpikir gila hanya karena uang 300 juta.

Hanya? Memangnya aku punya uang sebanyak itu? Haha.

Intinya, aku memang harus mengakhiri ini. Maaf om Donghae, kayaknya aku bakal nyusahin om lagi setelah ini.

"Permisi pak Moon."

"Selamat pagi nona Rena. Ingin bertemu pak Kim?"

Aku mengangguk sebagai jawaban. "Tapi saya belum buat janji."

"Sebentar, saya hubungi pak Kim dulu."

Pak Moon pun menghubungi pak Doyoung lewat telepon kantor. Aku mencoba nggak terlalu berharap. Namanya orang sibuk, bisa aja kan dia nggak mau diganggu? Lagian aku gila juga sih minta ketemuan saat jam istirahat kayak giㅡ

"Silahkan masuk, nona."

"Eh? Serius?"

Pak Moon hanya tersenyum sebelum membukakan pintu ruangan pak Doyoung. "Silahkan."

Oke. Semudah ini?

Aku memasuki ruangan pak Doyoung setelah mengucapkan terimakasih pada pak Moon. Dan yeah, sosok pak Doyoung langsung menyapaku dari balik meja kantornya.

"Lepaskan apronmu."

"Ha?"

Pak Doyoung bangkit lalu menghampiriku yang masih berdiri di dekat pintu. "Kita bisa bicara sambil makan siang."

"Tapi pakㅡ"

"Saya lapar."

O-Oke. Lapar sih lapar. Tapi...kenapa harus sambil menatapku sedatar itu?

"Saya mau ngobrol sebentar tentangㅡ"

"Kalau tentang pemutusan kontrak, silahkan keluar dari ruangan saya. Saya tidak mau membicarakan itu."

Oke, dia udah tau duluan ternyata. Selain galak, dia juga bisa baca pikiran. Hebat.

"Tapi pakㅡ"

"Kamu pikir dengan membatalkan kontrak semua akan kembali seperti semula?" tanyanya yang nggak bisa aku jawab. Karena yeah, aku nggak tau jawabannya. "Saya tahu semua resiko yang akan saya hadapi. Cukup ikuti permainan saya."

Aku terdiam sejenak. Setelah hampir lima detik menatap pak Doyoung, aku pun membuang pandanganku ke bawah.

"Saya...takut."

Oke, tiba-tiba bayangan Jeno muncul di benakku. Daripada takut dengan paparazi atau bu Joy, aku lebih takut ditinggal dan dibenci Jeno. Sumpah, dia sahabat terbaikku.

"Ada saya," katanya. "Jadi berhenti mengkhawatirkan hal yang tidak perlu kamu khawatirkan. Sekarang lepas apronmu, temani saya makan."

Aku membatu beberapa detik. Dalam hati aku berdoa, semoga Jeno dan papa memaafkan kesalahanku siang hari ini.



mana saya tau, saya nulis sambil merem

Om Doyoung✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang