cuma saya

40.3K 7.8K 688
                                    

Sore ini aku menunggu dia di dekat kantin seperti biasanya. Dan nggak seperti biasanya juga, aku harus menunggu cukup lama agar bisa melihatnya keluar dari tempatnya bekerja. Aku menatap jamku. Ini sudah hampir 10 menit.

Sebenarnya nggak masalah kalau aku masuk, hanya sajaㅡ

"Pak Doyoung!"

Aku tersentak mendengar teriakan kencang dari ambang pintu. Aku kira Rena, ternyata bu Hani. Beberapa karyawan mengekor di belakangnya, namun sosok yang aku cari belum juga nampak. Aku mengernyit heran.

"Cari siapa, pak?" tanya bu Hani.

"Rena," jawabku tanpa menatapnya. Mataku sibuk mencari Rena di antara puluhan karyawan yang sedang menunduk hormat padaku.

"Oh, Rena? Pulang duluan tuh sama pacarnya."

Jawaban bu Hani berhasil membuat fokusku teralihkan. Aku menatapnya agak tajam.

"Pacarnya disini."

"Maksud bu Hani si Jeno, pak. Dia bukan pacarnya Rena sih, tapi mereka lengket gitu kayak lem kastol, jadiㅡ"

"Chitta mulut lo astaga!"

Dan dua karyawan yang nggak aku tahu namanya itu mulai sibuk dengan urusannya sendiri. Aku menatap bu Hani lagi, mencoba mencari tahu maksud dari ucapannya.

"Ayah Rena masuk UGD tadi siang, pak."

Dan tentu saja aku, menjadi orang terakhir yang tahu masalah ini.


"Setahuku, ayahnya sakit gagal ginjal," jawab om Taeil saat aku bertanya perihal penyakit ayah Rena.

"Parah?"

"Sudah dua tahun. Kurasa...yeah, cukup parah."

Aku terdiam tanpa menatap om Taeil. Mataku sibuk menatap jalanan, otakku sibuk memikirkan hal yang sebenarnya nggak perlu aku pikirkan.

"Tenang, Doyoung. Ini bukan ulah Joy atau ayahmu. Kurasa kondisi ayahnya memang sedang menurun," lanjutnya.

Bukan, bukan itu. Ayah memang orang licik, tapi aku tahu kalau dia nggak mungkin bertindak sejauh itu. Ayah nggak mungkin melibatkan orang lain selain aku dan Renaㅡsemoga saja.

Tapi....

"Sudah sampai. Mau aku temani atauㅡ"

"Biar aku saja. Om Taeil bisa pulang."

Aku keluar dari mobil lalu segera berlari menuju UGD yang terlihat cukup ramai. Setelah bertanya pada suster dan dokter dengan menyebutkan nama ayah Rena, aku pun menemukan sosok yang aku cari. Dan tentu, dia nggak sendiri.

Aku sedikit batuk untuk mencuri perhatian mereka. Benar saja, ketiga orang tersebut langsung menatapku dengan pandangan yang berbeda. Rena dan ayahnya terlihat kaget, sedangkan Jeno datar seperti biasa.

"P-Pak Doyoung?" sentak Rena. Aku menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya mengalihkan pandanganku ke ayahya.

"Selamat sore, om. Saya Doyoung."

"O-Oh, iya. Saya ayahnya Rena."

Aku bisa melihat selang infus tertancap di tangan kanan ayah Rena. Wajah beliau juga pucat.

"Sudah dapat kamar?" tanyaku. Rena mengangguk.

"Bentar lagi dipindahin kok, pak," jawabnya. Aku pun menghela nafas pelan.

"Oke, saya tunggu disini."


Butuh perjuangan agar bisa mengantar Rena pulang. Pasalnya, bocah ingusan bernama Jeno itu ngotot ingin mengantar Rena. Untung ayah Rena lebih membelaku daripada Jeno. Beliau meminta Jeno untuk pulang dan beristirahat.

"Padahal saya masih mau nemenin papa di rumah sakit," curhatnya.

"Papa kamu butuh istirahat juga. Kalau kamu disana namanya ganggu."

"Idih, bapak tuh yang ganggu!" kesalnya.

Benarkah? Hmmm.

"Kenapa Jeno?"

"Apanya?"

"Jadi yang pertama."

"Maksudnya?"

Aku memutar bola mataku kesal. "Kenapa kamu tidak bilang ke saya dulu kalau papamu sakit?"

Rena mengerjap. "Kan Jeno yang ada di samping saya, pak. Namanya orang bingung, apalagi Jeno sahabat saya, jadiㅡ"

"Lain kali jangan begitu. Cerita ke saya dulu, baru ke orang lain."

Oke, terdengar konyol memang. Aku juga nggak tahu kenapa tiba-tiba kalimat itu keluar dari mulutku. Apa aku sudah gila? Sepertinya.

Mobilku sampai di depan pintu rumah Rena yang sepi. Yeah, sepi. Mobil van yang sempat aku curigai juga hilang entah kemana. Intinya, tempat ini sepi.

"Kenapa? Kenapa saya harus ngomong ke bapak dulu? Kenapa bapak peduli sama hidup saya? Kenapa bapak harus jadi orang pertama yang tau masalah saya?" tanyanya bertubi-tubi.

"Karena kamu pacar saya, bukan pacar Jeno."

"Kan cumaㅡ"

"Intinya, kalau ada apa-apa langsung telfon saya. Saya tidak bisa ada di samping kamu 24 jam, tapi saya akan datang kapan pun kamu butuh."

Kami terdiam. Memang, urusan ini menjadi panjang dan rumit. Rena, perempuan nggak berdosa ini harus berurusan dengan dua keluarga besar yang sama-sama gila harta. Ya, semua sesulit ini hanya karena sebuah perjodohan gila.

"Kenapa?" tanyanya tiba-tiba.

Aku terdiam sejenak lalu menghela nafas cukup panjang.

"Karena ada banyak orang ingin menyakiti kamu. Dan semua gara-gara saya. Jadi cuma saya yang bisa menjaga kamu. Bukan orang lain."


drama bgt banqkeeee kuingin
menangis😭😭😭

drama bgt banqkeeee kuingin menangis😭😭😭

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Om Doyoung✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang