sebelum terlambat

29.6K 5.5K 670
                                    

Istigfar dulu...


Doyoung

Aku mendesah kasar. Sialan, otakku benar-benar kacau hanya karena memikirkan mata sembab Rena semalam. Rapat siang ini berakhir buruk karena otak sialan ini enggan diajak kompromi. Semua materi yang harus aku sampaikan lenyap seketika, berganti dengan berbagai pertanyaan tentang Rena.

Apa dia baik-baik saja? Apa dia masih menangis? Apa si brengsek Jeno benar-benar dalang di balik semua ini?

Sialan memang.

"Mau makan siang sekarang? Saya reservasikan di tempat biasa atauㅡ"

"Aku nggak nafsu makan."

Om Taeil menghela napas di seberang sana sebelum mendekatiku. "Aku nggak tahu apa masalahmu seharian ini. Terlepas dari hasil rapat tadi, kamu tetap harus makan. Jangan memperburuk keadaan dengan berita kamu jatuh sakit."

Kini giliran aku yang menghela napas kasar. Oh astaga!

"Jadi tinggal pilih, mau makan di luar atau aku reservasikan tempat?"

"Aku nggakㅡTunggu." Aku terdiam sebentar sebelum kembali menatap Om Taeil antusias. "Bawakan makanan dari kantin."

"Ha? Kantin perusahaan?"

Aku memutar bola mataku kasar. "Tentu saja, mau kantin mana lagi? Bawakan apapun menu yang ada di sana."

Om Taeil mengerjap sebelum mengangguk bingung. "O-Oke."

"Om," cegahku. "Harus Rena."

"Ha?"

"Harus Rena. Yang membawakan makanan itu ke sini."

●●


Lima menit, sepuluh menit, lima belas menit. Lima belas menit aku menunggu dan manusia bernama Rena itu belum muncul juga. Jangan-jangan dia menghindariku? Jangan-jangan dia menolak perintahku? Kalau iyaㅡ

Klek.

Aku yang sedang duduk termenung reflek mengambil salah satu berkas di mejaku. Akhirnya, manusia yang aku tungguㅡ

"Sayang! Oh astaga aku merindukanmu!"

"Joy?!"

Joy tersenyum sambil berjalan ke arahku. Tanpa aba-aba, dirinya memeluk tubuhku dari belakang kursi sambil berusaha mencium pipiku brutal.

"Joy!"

"Eits, mau ke mana?"

Sialan. Belum sempat bangkit, perempuan itu sudah lebih dulu menahan bahuku lalu duduk di atas pangkuanku dengan senyum merekahnya.

"Apa yang kauㅡ"

"Ssst, jangan gugup, sayang. Di sini hanya ada kita," bisik Joy sambil melonggarkan dasiku, melepas dua kancing kemejaku.

"Joy!"

"Ups."

Aku mengerang tertahan saat dia dengan sengaja menekan yang di bawah sana dengan pantatnya. Sialan!

"Lepas!"

"Ngh?" gumamnya sambil menyesap leherku seduktif.

"Lepas, selagi aku masih memintamu baik-baik."

"Nggak akㅡAw!"

Joy merintih begitu aku mendorong tubuhnya sedikit kasar hingga menabrak pinggiran meja. Aku langsung berdiri, berusaha menetralkan deru napasku yang memburu. Antara marah, kesal danㅡ

"M-Maaf," suara dari ambang pintu memutus kontak mataku dengan Joy. Tubuhku menegang seketika melihat dia ada di sana, berdiri dengan sebuah nampan di tangannya.

"Naㅡ"

"I-Ini makanan Bapak. Saya letakkan di meja," katanya sambil meletakkan nampan tersebut di atas meja dekat sofa. Aku buru-buru menghampiri lalu menahan tangannya sebelum dia benar-benar pergi.

"Na, iniㅡ"

"Saya permisi, kantin masih ramai."

"Cho Renaㅡ"

Rena melepas tanganku sedikit kasar. Tubuhnya membungkuk pelan sebelum benar-benar meninggalkan ruanganku. Aku mengacak rambutku frustasi. Sialan! Sialㅡ

"Sudahlah, lupakan diaㅡ"

"Lepas, Joy!" Aku melepas tangannya yang seenak jidat memelukku dari belakang. Aku menatapnya tajam dengan amarah yang kian memuncak. "Pergi."

"Tapiㅡ"

"Pergi kubilang! Dan jangan pernah datang ke sini lagi! Jangan ganggu hubunganku dengan Rena!"

"Hubungan? Hubungan apa? Hubungan palsu? Hubungan kontrak? Atauㅡ"

"Rena kekasihku!" Aku menatap Joy tajam, begitu pula dengannya. Matanya memerah, pun dengan mataku. Demi Tuhan, kalau dia laki-laki, tinjuanku mungkin sudah melayang di wajahnya tanpa ampun. "Dia kekasihku. Aku mencintainya. Jadi pergi, jangan berharap lagi padaku."

●●


"Apa yang Rena lihat? Dia keluar dari ruanganmu dengan mata sembab. Dan lagi, kenapa Joy bisa ada di dalam? Ck, harusnya aku nggak pergi meninggalkan mejaku! Joy memang ular!"

Suara Om Taeil terus menggerayahi otakku. Sial sial sial! Sialan! Rena pasti menyaksikan semuanya. Sekarang bukan hanya Jeno, tapi aku salah satu brengsek yang dengan kurang ajar membuatnya menangis. Brengsek!

"Loh Pak Doyoung? Kok ada di sini?"

Bu Hani memasang wajah cukup kaget melihatku berdiri di depan pintu dapur. Aku mengintip di dalam sana dari tempatku berpijak. Sepi.

"Oh, mau cari Rena? Udah balik, Pak. Dari tadi sore."

"Diaㅡ"

"Katanya sih nggak enak badan. Tapi emang iya sih, muka dia pucet banget. Saya pegang dahinya, ternyata anget. Yang aneh lagi Pak, Jeno juga nggak masuk hari ini. Jadiㅡ"

"Terima kasih infonya."

Aku segera meninggalkan dapur sebelum Bu Hani bercerita lebih panjang. Kakiku terus melangkah hingga membawaku keluar kantor. Sialan, harusnya aku datang lebih cepat tadi! Sekarang di mana Rena? Apa dia sudah sampai di rumah? Apaㅡ

Langkah kakiku terhenti saat menyaksikan dia ada di sana. Tepat di seberang sana. Tepat di bawah lampu lalu lintas yang berganti warna menjadi hijau. Tepat menatap mataku sedikit kaget.

Sebelum dia benar-benar pergi, sebelum dia benar-benar menghindar, sebelum dia benar-benar lari, aku pun berjalan menyeberangi zebra cross. Nggak, aku nggak bisa berjalan. Aku harus berlari sebelum dia benar-benar hilang dari pandanganku. Aku harus berlari.

"P-Pak Doyoung, sayaㅡ"

Aku belum terlambat. Bibir ini mendarat di atas bibirnya, tepat sebelum dia mengucapkan kalimat yang mungkin nggak mau aku dengar seumur hidup.

Dadaku bergemuruh kencang.

●●


alhamdulillah, ini ujian...

Om Doyoung✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang