• Tujuh

2.8K 267 7
                                    

=Galang=


Matahari sudah bersinar terang, namun sang yang ada di dalam kamar sana belum menampakkan wajahnya.  Lulu mengetuk pintu kayu coklat itu pelan, lalu beranjak masuk saat tak terdengar sautan dari dalam sana. Itu kamar Galang, adiknya. Sudah seminggu sejak kejadian itu, dan Galang masih mengurung diri di dalam kamarnya, perasaan bersalah masih berkecamuk di dalam dadanya.

Malam saat dimana Galang pergi keluar rumah entah untuk apa saat itu Lulu tidak tahu. Beberapa jam menunggu kabar dari Galang, akhirnya anak itu mengabarinya setelah jam menunjukan pukul tiga dini hari. Bani, Utami dan Lulu langsung bergegas setelah mendapat kabar dari seseorang yang menggunakan ponsel Galang mengatakan jika Niara dan Galang mengalami kecelakaan. Tentu saja mereka panik dan khawatir, segera saja mereka menuju rumah sakit tempat dimana kedua anaknya diberi pertolongan.

Dan satu hal yang lebih mengejutkan lagi untuk mereka adalah, saat dokter yang menangani Niara mengatakan jika putrinya, mengalami kebutaan karena benturan yang cukup keras dikepalanya. Tidak permanen, namun tetap saja kabar itu membuat mereka sangat terpukul. Sedangkan untuk putra mereka, Galang. Dokter mengatakan jika kondisinya baik-baik saja, hanya shock yang membuat Galang sampai pingsan.

Namun, ketika Galang bangun. Ia langsung menangis, meraung-raung memanggil nama kakak keduanya—Niara. Lulu yang sedang menemaninya saat itu tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, Lulu mencoba menenangkan adiknya. Tapi Galang tidak berhenti menangis, itu semakin membuat Lulu kebingungan, sampai akhirnya ia memutuskan untuk memanggil dokter. Dan dokter mengatakan jika Galang sangat terpukul atas kejadian yang menimpa Galang dan Niara.

Dan semenjak kejadian itu pula, Galang menjadi seorang yang murung. Semenjak kejadian itu pula Bani dan Utami belum menemuinya, hanya Lulu yang selalu menemaninya.

Seperti saat ini, Lulu menghampiri adiknya yang tengah duduk ditepi ranjang dengan kepala yang menunduk.

“Lang,”

Galang mengangkat wajahnya menghadap Lulu, air matanya sudah berlinang. Begitu melihatnya Lulu sontak memeluk adiknya itu. Galang menangis dalam dekapannya.

“Jangan nangis, ini bukan kesalahan kamu.”

“Nggak, ini semua salah Galang, kak. Galang yang udah buat kak Juni buta, ini salah Galang,” ucapnya disela tangisannya.

“Galang! Dengerin Kakak, ini bukan salah kamu. Ini udah takdir, berhenti nyalahin diri kamu. Niara sekarang lagi butuh kamu,”

“Ta-tapi, Galang ... yang udah buat kak Juni buta, kak. Galang—”

“Berhenti nyalahin diri kamu. Semuanya udah rumit, dan kamu jangan nambahin beban lagi dengan kamu yang murung kayak gini, kita bingung sama situasi sekarang. Kamu ngerti nggak sih?!” tanpa sadar, Lulu sudah membentak adiknya.

Galang terdiam, masih mencerna perkataan kakaknya tadi. Air matanya semakin meluruh, ia menatap mata kakaknya yang sudah berlinang.

“Maaf. Galang minta maaf ... maafin Galang, kak. Maaf ... Galang minta maaf,” racaunya.

Oh ayolah, Lulu merutuki perkataannya tadi. Tidak seharusnya ia bicara seperti itu pada adiknya yang memang sedang terpukul, itu malah membuat adiknya semakin merasa bersalah.

“Nggak, jangan minta maaf. Kakak yang harusnya minta maaf, maafin kakak, Lang.” ucapnya lalu mendekap adiknya lagi sambil menciumi puncak kepala adiknya. Adiknya masih menangis dalam dekapannya. Hingga dirasa tangisan adiknya sudah tak terdengar, ia melepas dekapannya dan langsung disuguhkan dengan wajah polos itu tertidur. Lulu tersenyum melihat adiknya yang begitu lucu saat tertidur.

GalangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang